Di lain tempat, seorang perempuan berusia 28 tahun sedang bersiap untuk makan malam bersama keluarganya yang sudah berkumpul di ruang makan. Ia tersenyum mematikan layar ponselnya setelah panggilan antarnegara yang baru saja ia terima berakhir. Nara menutup pintu kamarnya dan segera menuruni anak tangga rumah kedua orangtuanya.
"Siapa yang telepon, Kak? Sepertinya senang sekali." tanya adik perempuannya dengan sangat penasaran.
"Eleana. Dia tiba-tiba telepon dan berkata sedang berada di San Fransisco. Gadis itu sekarang sudah dewasa meskipun suaranya tetap nyaring seperti dulu." jelas Nara kemudian mengambil piring untuk dirinya.
Setelah kepala keluarga di rumah itu memimpin doa, mereka mulai menyantap makan malam yang disajikan oleh ibunya yang sudah tidak perlu lagi diragukan keahliannya dalam memasak.
"Eleana, bagaimana kabarnya? Apa ia sudah lulus kuliah?" tanya laki-laki parih baya kepada anak sulungnya, membuka perbincangan malam itu.
"Dia terlihat lebih cantik, Ayah. Sekarang ia masih semester enam dan sedang diajak oleh dosennya untuk menemani penelitian di San Fransisco." jawab Nara tampak senang.
"San Fransisco? Sama sepertimu dulu?" kini ibunya yang bertanya.
"Ya. Bahkan ia juga mengambil jurusan yang sama denganku dulu. Padahal, dulu dia berkata sangat benci dengan mata pelajaran itu. Ada-ada saja gadis itu." tambah Nara.
Perbincangan malam itu menjadi semakin hangat karena topik pembicaraan mereka tidak hanya seputar kebun, pekerjaan dua anak perempuan itu, dan gosip-gosip terbaru di lingkungannya. Namun, nama Eleana ikut menghangatkan atmosfer ruangan yang tak terlalu besar itu. Karena semua orang di sana tahu, ketika nama Eleana terdengar maka nama lain juga akan ikut muncul ke permukaan ingatan Nara, nama dari seseorang yang amat sangat ia sayangi bahkan hingga malam ini.
Senyum benar-benar tak mampu menyingkir dari wajah Nara malam ini. Bahkan hingga saat adiknya sedang membawakan cokelat panas kesukaan mereka berdua. Via mengetuk pintu kamar kakaknya yang tidak sepenuhnya tertutup menggunakan ujung kakinya.
"Kak, aku masuk." izin Via seraya kesusahan membawa dua gelas penuh cokelat panas untuk mereka.
Refleks, Nara mengalihkan pandangannya pada jendela kamarnya dan mengambil alih salah satu gelas dari tangan adiknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih pada adiknya yang sudah repot-repot membawakan untuknya.
"Kamu baik-baik saja, Kak?" tanya Via dengan hati-hati ikut menikmati langit malam.
"Ya. Memangnya kenapa?" tanya Nara bingung menatap adiknya.
Via sangat berhati-hati dalam merangkai kalimat yang akan ia ucapkan, karena ia tahu topik ini akan menjadi topik yang sensitif sampai kapanpun. Nara mengembuskan napas berat, paham dengan arah pembicaraan adiknya. Ia tersenyum dengan tak mengalihkan pandangannya.
"I'm totally fine, Vi. Jangan khawatir, aku merelakannya bukan untuk akhir yang menyedihkan. Aku merelakannya agar kami berdua bahagia, bukan begitu?"
"Ya, kamu benar Kak."
Marc Marquez dan Geary Boulevard memang berhasil membuat namanya kembali muncul dan menyeret serangkaian ingatannya tentang masa indah itu.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
Driving Me Home
RomanceWho's gonna driving me home? Kisah Nara, perempuan dengan senyuman manis yang tiba-tiba dibuat teringat akan masa indah hanya karena sebuah telepon singkat yang diterimanya malam itu. (Alur Mundur)