LIMA

16 2 0
                                    

Dean di dalam kamar hotelnya tidak bisa tidur. Mungkin benar kata Letter, ia seharusnya meminta nomor perempuan berambut hitam itu. Ini bukan karena Dean ingin mendekatinya, tapi rasanya ia harus berterima kasih dengan cara yang lebih layak padanya.

Dengan sandal hotel tipis berwarna putih, Dean keluar dari kamar menuju meja resepsionis, berusaha menanyakan ballroom manakah yang dipakai untuk acara yang Nara datangi.

Meskipun tidak terlalu cakap berbahasa asing, tapi Dean setidaknya dapat merangkai kalimat yang bisa dimengerti oleh lawan bicaranya. Hasil dari bertanya membuahkan jawaban bahwa Nara sedang berada di lantai lima dan sebentar lagi seharusnya acara itu selesai.

Baiklah, Dean akan menunggu sembari memesan kopi, pikirnya. Kakinya kembali
melangkah berpindah dari satu tempat ke tempat lain di hotel megah itu. Sejenak ia berpikir apakah pilihan tepat untuk dirinya mengonsumsi malam ini mengingat esok ia memiliki penerbangan pagi.

"Kak Dean?" seperti do'a yang terkabul dengan kecepatan cahaya, Dean mendapati namanya dipanggil oleh seseorang yang membuatnya keluar dari kamar di malam hari.

"Baru selesai?" Dean tidak bodoh, ia harus bersikap seolah dirinya tidak sedang menunggu Nara di tempat itu.

Nara mengangguk, dengan cekatan Dean dapat melihat Nara mengeluarkan sebuah karet rambut berwarna hitam tipis dari balik saku jasnya kemudian menggigitnya ketika tangan perempuan itu sibuk mengumpulkan rambut hitamnya. Hal selanjutnya yang dapat Dean lihat adalah kecantikan Nara dengan rambut diikat bak ekor kuda.

"Ya, sebenarnya dosenku masih di dalam untuk berbincang-bincang tapi aku sudah sesak di sana."

Lidahnya kelu, Dean seperti ditarik untuk masuk dan menetap pada pesona Nara. Ini mungkin terdengar berlebihan tapi Dean memang sudah lama tidak merasakan terpesona seperti yang sedang ia alami malam ini.

"Kapan pulang ke Indo, Nar?" tanya Dean mencoba kembali ke tujuan utamanya.

"Aku? Lusa."

Mimik bibirnya membentuk lubang sebelum Dean kembali menanyakan hal yang membuat Nara sedikit memiringkan kepalanya.

"Nara, apa aku boleh menemuimu lagi?" tanya Dean.

"Hah?"

Tidak. Dean memang bodoh. Ia terlalu straight to the point dan hal itu tidak selalu bermakna baik. Contohnya sekarang. Pasti Nara bingung dengan pertanyaan atau permintaan Dean yang aneh secara mereka baru saja bertemu. Bahkan Dean tidak tahu Nara hidup dimana karena luasnya negara asal mereka.

"M-maksudku, aku perlu berterima kasih padamu in a right and better way. Mungkin aku bisa mentraktirmu makan siang atau semacamnya."

"Oh. Sure."

Dean menggigit bibir dalamnya karena terlalu senang. Rasanya ia kembali seperti remaja kasmaran dan sejujurnya cukup memalukan.

Selanjutnya Dean menanyakan dimana Nara menempuh pendidikan, apa program studi yang ia ambil, dan tentu saja hal-hal lain seperti nomor ponselnya.

Satu hal yang Dean sadari setelah perbincangannya dengan Nara dari lantai dimana ballroom berada hingga kamarnya adalah, ia tidak lagi membutuhkan kafein untuk menghilangkan kantuknya. Bukan kopi yang harusnya ia khawatirkan, tapi senyum perempuan itu yang berhasil membuat dirinya mengkhawatirkan penerbangannya esok. Apakah Dean bisa tidur malam ini?

°°°

Di lain kamar, Nara mengguyur tubuhnya dengan air hangat, mencoba melepaskan penat dan pikirannya yang penuh akan hari-harinya selama di kota ini.

Deadline yang dosennya berikan harus dikerjakan malam ini. Tidak ada yang  bisa lakukan setelah ini selain membuka laptopnya dan menjadi zombie semalaman.

Keluar dari kamar mandi, Nara menggosok-gosok rambutnya yang masih basah dengan handuk dan kemudian membungkus kepalanya dengan handuk yang sama. Tidak ada waktu untuk mengeringkan rambut, pikir Nara.

Nara membuka makanan ringan yang ia bawa dari Indonesia, mulutnya melahap beberapa potong keripik itu dan menyimpannya di salah satu pipinya sampai membuat bulatan kemudian ia melamun menikmati pemandangan malam dari kamar hotelnya. Lalu helaan napas panjang keluar dari mulutnya yang penuh dengan keripik.

Ponselnya berbunyi. Ada satu pesan masuk diterimanya. Dengan malas Nara mengangkat benda itu dan mengangkat sebelah alisnya ketika ia dapati satu pesan dari nomor yang asing.

Ternyata dari pria yang ia temui beberapa jam lalu, pesannya berisikan panggilan dan meminta Nara untuk menyimpan nomor pria itu.

Nara mengedikkan bahunya. Ia tidak terlalu ambil pusing dengan pesan yang diterimanya. Jujur ini bukan kali pertama ada lelaki yang meminta nomor ponselnya dan berusaha mendekati gadis cantik itu. Tapi, tidak ada satupun yang berhasil menakhlukkan hati Nara yang kini fokusnya hanya tertuju pada pendidikan yang sedang ia tempuh.

Hingga dini hari, lampu di kamar Nara masih betah menyala. Matanya sudah setipis tisu namun gerakan jari tangannya masih berlarian di atas keyboard.

Nara yang juga manusia sesekali menguap dan mengucek matanya yang mungkin sudah memerah. Ia lihat lagi jam di sudut layar laptopnya, dua menit lagi limitnya mengerjakan tugasnya. Setelah itu ia akan beristirahat.

Mungkin sebentar lagi fajar akan terlihat, tapi Nara bahkan belum menutup matanya seharian ini. Dua menit berlalu, dering ponselnya karena alarm yang telah diaturnya beberapa jam yang lalu.

"Oke, kita lanjut besok." katanya pada dirinya sendiri yang kini menutup laptopnya dan tubuh yang semula tengkurap di atas kasur kini sudah telentang meregangkan otot-otot yang sudah bekerja keras selama ini.

Embusan napas yang teratur halus perlahan terdengar, mengikuti sunyinya dini hari yang tersisa sebentar lagi.

°°°

Halooo gussy! Aku tuh nulis cerita lain juga loh—kalau ada waktu senggang bisa mampir ya, karena aku cukup buntu sama alur si Nara sama Dean ini huhuhu. Kaya belum nemu ritme nulis cerita ini.

Judulnya "How Things Changed" di sana aku pakai visual Mark Lee, Yeri, dan Haechan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Judulnya "How Things Changed" di sana aku pakai visual Mark Lee, Yeri, dan Haechan. Tapi berhubung ada beberapa adegan yang sedikit kasar, jadi aku rate 21+. Tolong bijak dalam membaca ya, yang belum 21 tahun ya cukup baca ceritaku yang lain aja HEHE.

Yuk bisa yuk cerita Driving Me Home juga divote dan comment biar rame, hehe terima kasih! 💚

-subaklovesme

Driving Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang