Pagi menyongsong ketika satu persatu koper keluar dari kamar yang sewanya segera berakhir karena penghuninya yang akan segera meninggalkan negara itu.
Dean tampak lebih segar dengan rambutnya yang baru saja ia cuci, kaus hitam, dan celana panjangnya. Ia rasa rambutnya sudah panjang, mungkin nanti sesampainya di Indonesia ia akan mampir ke barber untuk mengurangi rasa gatal.
"Sudah semua?" tanya Ale kepadanya sambil membantunya mendorong koper.
"Sudah. Le, menurutmu penampilanku pagi ini bagaimana? Apa aku terlihat tampan?"
Ale mendengarnya sedikit mual, pasalnya bertahun-tahun mereka saling kenal baru kali ini ia mendengar pertanyaan konyol itu keluar dari mulut Dean.
"You look good, Bro. But your question, don't you dare to ask me again."
Dean memamerkan sederetan giginya kemudian membenarkan letak masker hitamnya dan ia pikir ia masih memiliki waktu setidaknya beberapa menit sebelum Maria keluar dari kamarnya.
"Dean! Mau kemana?!" teriak Ale ketika melihat Dean sudah berlari menjauhinya, tapi bukan pintu keluar yang ia tuju.
Dean berlari memilih untuk menggunakan tangga darurat dibanding harus menunggu pintu lift terbuka. Mungkin setelah ini ia harus menyemprotkan banyak parfum lagi karena ia berkeringat hanya dengan menaiki anak tangga.
Sesampainya di depan sebuah pintu, ia memberanikan diri untuk mengetuknya, berharap orang di balik pintu tersebut berada di sana dan membukanya.
"Oh tidak, apa dia sarapan?" tanya Dean pada dirinya sendiri.
Hendak Dean membalikkan badannya dan berpikir untuk mencarinya di restoran-mungkin saja dia memang sarapan, tapi pintu itu tiba-tiba terbuka dan menampakkan wajah khas bangun tidur yang sialnya bagi Dean ini keterlaluan. Keterlaluan cantiknya.
"H-hai sorry tampaknya aku mengganggumu." kata Dean kemudian melepas masker yang menutupi wajahnya.
Nara terkejut karena ia pikir yang datang adalah room service, tapi ternyata Dean yang tampak sudah rapi dan harum meskipun ada sedikit keringat di dahinya.
Ini sangat berbanding terbalik dengan penampilan Nara saat ini, yang ia lakukan hanya merapikan rambut panjangnya yang semula dicepol asal. Hanya itu yang bisa ia lakukan."T-tidak. Ada apa Dean?"
Dean hampir tidak berkedip jika saja Nara tidak bersuara. Pemandangan perempuan itu merapihkan rambutnya sungguh sangat indah, meskipun stelan baju tidur beruang miliknya sedikit kusut.
"Aku pulang pagi ini. Di mana kamu tinggal? Berikan aku alamatmu."
"J-jangan berpikir negatif dulu! Aku tidak akan menggunakannya untuk hal-hal aneh, aku hanya ingin mengunjungimu lagi sesampainya di Indonesia."
Nara mungkin tak sadar ketika ia bergeming, "Padahal kamu bisa meminta lewat WhatsApp, tidak perlu mengetuk pintu kamarku sepagi ini dan melihat wajahku yang sangat jelek."
Tapi Dean mendengarnya. Jelas sekali masuk telinga, dan itu membuatnya tertampar secara tidak langsung. Benar juga, ia sangat bodoh meski sudah sangat tampan.
Nara menuliskan alamatnya di ponsel milik Dean. Dalam hati ia tertawa, kuno sekali cara Dean mengejarnya.
"Oh, ternyata kamu dari Indonesia Timur? Tapi kamu-"
"Ceritanya panjang. Nanti akan aku ceritakan kalau kita ketemu lagi. By the way, aku kuliah di Jogja. Aku pernah dengar nama butik terkenal tempatmu bekerja, bukankah itu juga di Jogja?"
°°°
"Ini mah fix dia jodoh gue," kata Dean ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Dean dan Letter berada satu mobil dengan Ale yang mengendarai. Sedang Maria dan yang lainnya naik mobil yang lebih besar bersama dengan koper-koper bawaan mereka.
Letter memutar bola matanya malas. Ia paling tidak suka jika harus menghadapi Dean versi jatuh suka.
Berbeda dengan yang lain, Letter sendiri berasal dari Ibu kota sehingga ia terbiasa menggunakan sapaan lo-gue jika dengan Dean yang juga masa remajanya dihabiskan di kota yang sama dengannya.
"Lo pikir aja deh, kita ketemu di San Fransisco. Gue besar di Jakarta, dia sendiri asalnya dari Flores. Tapi sekarang kita sama-sama domisili Jogja! Jodoh kan itu namanya?!"
"Heh Mulyono! Jodoh nggak tergantung sama domisili kali!"
"Le! Bantu aku dong!" teriak Dean meminta dukungan dari Ale yang menyetir sembari tertawa mendengar keributan di kursi belakang.
"Aku hanya kasihan pada Nara. Tampaknya dia perempuan baik yang bernasib buruk karena dikejar laki-laki redflag sepertimu."
"Hahahaha! Lihat! Ale saja paham, masa lu nggak paham sih De?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Driving Me Home
RomanceWho's gonna driving me home? Kisah Nara, perempuan dengan senyuman manis yang tiba-tiba dibuat teringat akan masa indah hanya karena sebuah telepon singkat yang diterimanya malam itu. (Alur Mundur)