03 - Sebuah Pertemuan di Perantauan

1.6K 29 0
                                    

Keesokan harinya aku masuk pagi untuk melapor dan wawancara langsung sebelum memulai masuk di tempat kerjaku yang baru ini. Setelah beres semua urusan administrasi dengan pihak Human Resource barulah hari itu menjadi hari pertamaku mengenakan seragam sebagai staff perhotelan.

Beruntung dengan modal kemampuan bahasa asing aku jadi bisa mendapat posisi di kantor depan alias Front Office yang mencangkup Reception, Bell Service dan operator telepon.

Perhotelan merupakan satu pekerjaan yang bisa dibilang 'bergengsi' tapi tidak juga keren. Ah, tapi yang namanya pekerjaan ya mana ada yang keren. Yang keren ya kalau yang bisa jadi pemilik perusahaan.

Individu perhotelan akrab disebut 'hotelier'. Pekerjaannya memang sangat 'lieur wae'. Lelah, memeras tenaga dan lebih menyiksa daripada kerja kantoran.

Aturan yang utama: tidak ada hari libur, karena tugas kita adalah melayani orang-orang yang berlibur. Ya itu prinsip utama hotelier; anda libur kami kerja. Liburan anda adalah pekerjaan kami. Nggak mungkin kan anda libur lantas saya juga pengen libur.

Masyarakat hotelier baru bisa libur apabila musim libur sudah usai dan orang-orang biasa kembali sibuk bekerja.

Tapi ... di pulau semacam di Bali dan Lombok, sepanjang tahun adalah musim libur? Terus hotelier liburnya kapan doonk??

Biarpun demikian, masyarakat hotelier adalah para buruh yang bisa dibilang buruh elit. Karena pekerja perhotelan itu gajian dua kali, tidak seperti pegawai kantoran biasa yang gaji tetap setiap tahun.

Ya, kalian tidak percaya?

Gaji perhotelan adalah: Gaji tetap + Uang Service Charge. Gajinya tidak hanya diukur dari besaran nominal yang tertera di kontrak. Karena ada extra tambahan bulanan dari 'Service Charge'.

Kalian pernah menginap di hotel berbintang? Perhatikan di bill, kalian membayar biaya kamar dan seluruh akomodasi ditambah 21% tax and service. 11% adalah ppn dan 10% nya itu adalah uang service (service charge). Aku baru tahu hal itu sekarang.

Tapi ... ya—sayangnya—aku belum menjadi pegawai kontrak. Jadi aku belum bisa menikmati semua benefit tersebut. Aku masih berstatus staff in the training, jadi aku harus melalui masa training 3 bulan dan percobaan lagi 3 bulan jadi total 6 bulan. Itupun nantinya masih ada masa percobaan tambahan dengan status pegawai harian. [truly—literally—nasib babu di industri kapitalis]

Singkatnya, kita baru bisa menerima gaji full ditambah bonus uang service charge tersebut setelah kita berstatus karyawan kontrak atau karyawan permanen.

Dunia kerja memang seperti itu, keras, materialis, kapitalis. Everything is flow for money. Pepatah di negeri dongeng mengajarkan; Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Namun dunia nyata mengajarkan hal yang lebih nyata; Bersusah-susah dahulu, bersakit-sakit kemudian. Tapi ya, siapa yang mau kerja seumur hidup toh? Suatu saat nanti aku juga bercita-cita ingin mandiri dan mapan secara finansial supaya bisa menikmati hidup. Ya udah, sekarang terima nasib dulu jadi babu.


* * *


Pertemanan di antara para penghuni indekos ternyata sangatlah kompak, begitu akrab, tidak ada pilih-pilih teman, sama sekali tidak memandang latar belakang, agama, suku, ras bahkan sampai jenis kelamin sekalipun. Apalagi mengingat kami adalah sesama warga pendatang yang bukan warga asli Lombok, yang sama-sama mengais rejeki sebagai pekerja pendatang di tanah Lombok ini.

Aku mendapat kenalan dua orang cewek yang kemudian menjadi teman akrab ku di sini.

Yang pertama bernama Etha Puspita. Usianya sama denganku. Seorang cewek berambut panjang dengan mata yang sangat indah. Gadis asli Jawa Barat, paras cantik berkulit putih bening khas gadis sunda melayu. Tubuhnya pun juga sangat seksi sintal padat berisi bohay baday. Pinggulnya bulat berlekuk, payudaranya montok kira-kira ukuran Cup B+ yang sangat proporsional untuk ukuran tubuhnya.

Memori Pantai BatulayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang