"Mengapa kau membawa ku ke tempat ini?" Belani menatap dataran hijau yang di hiasi berbagai macam bunga itu. Indah.
"Tidak apa-apa, ayo duduk" pemuda itu menepuk rerumputan hijau di sebelah nya. Belani menurut ia duduk di rerumputan hijau itu.
"Pemandangan nya indah" ucap Belani menatap takjub pemandangan di sekeliling nya.
"Memang" pemuda itu melirik Belani sebentar.
Kedua nya menikmati sejuk angin yang menerpa. Sesekali kedua nya berbincang- bincang santai layak nya sebagai seorang sahabat.
Namun ketika sedang berbincang dengan pemuda di samping nya. Belani teringat sesuatu tentang ibu nya.
"Ibu! Aduh aku lupa!" Dengan tiba-tiba Belani beranjak dari duduk nya. Lalu Belani berlari menuju rumah nya.Pemuda asing yang ia temui itu tanpa di sangka mengikuti Belani.
Singkat cerita mereka berdua sampai di sebuah rumah kayu, rumah yang di tempati oleh Belani dan sang ibu. Dengan tergesa-gesa Belani membuka pintu.
"Ibu!" kedua tangan Belani manangkup pipi sang ibu dengan raut wajah panik. Ia menatap ibu nya dari atas kepala sampai ujung kaki.
"Ibu ndak apa-apa" ibu Belani tersenyum. Namun perhatian ibu Belani tertuju pada sosok pemuda yang berada di belakang sang anak.
"Nak, ayo duduk dulu" ajak ibu Belani yang di turuti oleh pemuda itu. Dengan sopan pemuda itu duduk di salah satu bangku kayu.
"Terima kasih nyonya" ucap pemuda itu dengan senyum yang terukir indah di wajah nya.
"Ibu saja" ucap ibu Belani yang di angguki oleh pemuda itu.
"Bentar ya nak, ibu bikinin minuman dulu" ucap ibu Belani.
"Tidak usah bu. Biar Belani saja" Belani yang sedari tadi diam menyimak percakapan sang ibu dengan orang yang baru saja ia kenal itu akhir nya membuka suara.
Sang ibu mengangguk pertanda ia mengiyakan permintaan Belani.
"Nama mu siapa, nak?"
"Mahardika, bu." lagi, lagi pemuda yang bernama Mahardika itu tersenyum.
"Orang baru ya?"
"Iya, bu" Mahardika menjawab singkat.
"Sudah-" ucapan ibu Belani terpotong. Oleh kedatangan Belani.
"Silahkan di minum" Belani meletakkan dua cangkir teh di atas meja.
"Terima kasih" Ucap Mahardika pada Belani.
"Sama-sama" ucap Belani yang kini berada di samping sang ibu. Belani tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yogyakarta 1889
Fiksi RemajaBukan takdir yang salah kita yang kalah - Mahardika Sanjanu Agraha