"Satrio!" Arshilla mengejar laki-laki itu saat Satrio berlari kearah dapur, jaraknya tidak sampai sejengkal dengan tempat sampah. "Satrio!" Langkah kakinya terhenti tatkala Satrio berhenti didepan tong sampah dapur.
"Minta maaf sama gue atau sampah ini gue buang ke tempatnya!" Ancam Satrio seraya menginjak bagian bawah tempat sampah itu hingga tutupnya terbuka. Sumpah, Satrio ini tidak kalah sadisnya dengan kakak tiri yang ada di dalam sinetron. Dan Arshilla berharap agar spesies seperti Satrio ini lebih baik musnah saja, agar tidak ada adik yang merasa sengsara karena penderitaan hidup menghadapi kakak sialan sepertinya.
Secara, Satrio ini hanya kakak tiri. Tapi perasaan teganya benar-benar melebihi saudara kandung.
"Gak!" Jawab Arshilla masih tetap pada pendiriannya, ia tidak akan goyah meski ancaman dari Satrio mengancam kehidupannya sekalipun.
Karena Arshilla benar-benar benci dengan sesuatu yang kotor, sekalipun satu butir debu, jika itu ada disekitarnya, maka Arshilla harus membasmi debu tersebut hingga benar-benar tidak tersentuh.
Dan Satrio adalah salah satu dari debu yang kotor nan menjijikan.
Lantas, bagaimana bisa jika Arshilla harus berhadapan dengan tong sampah yang bahkan isinya lebih dari debu?
Satrio menyeringai lebar, tangannya perlahan turun memasuki tong sampah. "Yakin, Cil? Duh, udah nyentuh sampah plastik cair, nih," kata Satrio yang berhasil membuat Arshilla jijik jika membayangkannya, bahkan gadis itu sudah bergedik geli. "Ayo, minta maaf sama pangeran. Dikasih waktu setengah menit buat mikir."
Pangeran banci maksud lo?
Arshilla mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, jari-jari kakinya pun ikut mengepal sehingga meninggalkan jejak kaki di lantai karena keringat yang membasahi telapak kakinya.
"Waktunya udah abis! Satu, dua, tig-"
"Iya gue minta maaf!" Ucap Arshilla cepat.
"Apa? Gak kedengeran, kalo gak ikhlas gue beneran buang."
"Gue minta maaf." Arshilla memejamkan matanya dengan kedua telapak tangan yang menyatu. Demi apapun, harga dirinya benar-benar terinjak dihadapan Satrio yang kelewat menyebalkan ini.
"Cium kaki gue dulu."
Jawaban Satrio membuat Arshilla membuka matanya kembali, sorot matanya menatap Satrio tajam. Laki-laki ini gangguan jiwa atau bagaimana? Satrio benar-benar kelewat tidak berakhlak.
"Gila lo ya, gak tau diri. Gangguan jiwa lo emang!" Arshilla mengulurkan telapak tangannya. "Mana sini hape gue, lo kira lo lucu kayak gini? Dasar banci!"
"Eits, tidak bisa begitu, sholehah." Satrio melepaskan tangan yang memegang ponsel, sehingga benda itu benar-benar terjatuh kedalam tong sampah. Satrio meniup telapak tangannya seolah ada debu disana, lalu ia tersenyum lebar. "Demi menjaga kebersihan lingkungan, dengan hak dan kewajiban gue sebagai manusia, maka, gue harus buang sampah pada tempatnya," pungkas Satrio sambil berlalu dihadapan Arshilla yang mematung dengan pandangan lurus dan menusuk.
Emosinya akan meledak dalam hitungan ketiga, urat-urat diwajah dan lehernya mulai terlihat. Juga wajah yang berwarna kemerahan, menunjukan betapa dahsyatnya emosi yang akan Arshilla keluarkan.
"Satrio prawira, gue jamin kaki lo penyok sampai gak berbentuk!"
15 menit setelah kejadian...
"Lagian, baru satu bulan kalian jadi saudara, udah kayak lagi melihara anjing sama kucing." Arumi memasukan beberapa es batu pada kain, mengompres pada bagian kaki Satrio yang memar. Dan benar saja, kaki Satrio yang menjadi sasarannya. Untung masih berbentuk.
"Pegang kompresannya, tungguin aja sampai bener-bener enggak kerasa sakit lagi," ujar Arumi pada Satrio.
Lalu Arumi mengambil dua plester dan memasangkan pada lengan dan sikut putrinya yang luka karena cakaran dari kuku-kuku Satrio yang tajam. "Kalian itu harusnya saling menjaga, saling sayang, sesama saudara itu harus akur," tuturnya lembut sembari mengikat rambut Arshilla yang acak-acakan.
"Rambut kamu udah pendek Nara, masih mau di ikat begini?" Arumi menguncir rambut Arshilla yang sebahu itu ke belakang.
"Kayak helm," celetuk Satrio dengan tawa yang tertahan.
Arshilla mendelik. "Aku gak bakalan punya adik, atau kakak sampai kapanpun," jawab Arshilla ketus. "Cuma aku anak satu-satunya bunda. Satrio itu cuma anak pungut!"
"Hush, gak boleh gitu!" Tegur Arumi, sehingga Satrio yang merasa terbela itu menjulurkan lidahnya mengejek pada Arshilla. "Gak ada yang namanya anak pungut. Semua Bunda anggap anak kandung, kok."
"Gak sudi." Arshilla membuang muka. "Bunda gak pernah punya anak laki-laki."
"Ada kok, aku. Iya kan, Ma?" ujar Satrio dan dibalas angukkan oleh Arumi.
Arshilla sudah kehilangan gaya untuk mengungkapkan amarahnya kali ini. Tapi hatinya benar-benar sudah terbakar, mendengar Satrio menyebut Arumi dengan panggilan 'Mama'.
"Tuh kan, Mama aja setuju. Makasih, Mama," Satrio sengaja menambahkan kata tersebut lebih banyak lagi.
"Yang nyebut Mama berarti anak pungut! Soalnya disini gak ada Mama, adanya Bunda. Dan anak Bunda Arumi satu-satunya cuma Arshilla!" Sergah Arshilla.
"Heh, enggak apa-apa kok. Bunda itu sekaligus Mama buat kakak kamu," sahut Arumi lembut.
"Orang kayak dia gak pantes disebut kakak. Bukan panutan, kayak setan, antagonis, dasar antagonis!" Cerca Arshilla dengan napas yang naik turun, belum juga puas dengan berbagai unek-unek yang ia keluarkan, semuanya masih tersisa dalam hati.
"Enggak apa-apa Bunda. Kali ini, Satrio panggil Bunda aja, biar enggak ada anak pungut."
Satrio ini ... Benar-benar.
Selalu saja ada cara untuk membuat Arshilla meledak.
"Kesel! Ih, najis banget. Kacau! Ah, taulah." Arshilla mengerang kesal. "Lagian kenapa sih Bunda nikah lagi? Mana dapet anak tiri titisan iblis! Jadi janda juga keren loh, Bun."
"Ck, gak boleh gitu ah. Kita itu hidup berdampingan. Coba kamu bayangin, ngerjain sesuatu sendirian. Lelah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Crazy Family
Novela JuvenilAwalnya Arshilla merasa hidupnya aman tentram meski tanpa kepala keluarga. Namun, keinginan Arumi untuk menikah lagi membuat Arshilla frustasi, lantaran ia tidak ingin mempunyai ayah tiri. Sampai-sampai, Arshilla harus menanggung kenyataan bahwa di...