5. Pertengkaran pertama

13 0 0
                                    

Arshilla sedang menikmati suasana sepi di rumah. Hari itu, rumah terasa lebih tenang daripada biasanya. Karena orang-orang di rumah tengah sibuk mengantar Satrio pergi ke rumah sakit untuk kontrol kesehatan kakinya setelah kecelakaan seminggu lalu. Tangannya sibuk memindah-mindahkan channel TV dan beberapa snack yang bebas ia makan sendirian tanpa ada yang meminta-minta. Rumah tanpa kehadiran Satrio memang memberi perasaan bebas yang langka baginya.

Tak lama kemudian, langkah pelan tapi berat terdengar dari arah pintu. Wira dan Arumi masuk, mendorong kursi roda Satrio, namun tersirat raut wajah kesal pada Arumi. Arshilla sekilas melirik, lalu memalingkan muka, pura-pura tak peduli.

“Mama tadi masak loh Nar, dimakan nggak?” tanya Arumi lembut sambil mengatur posisi Satrio di dekat sofa.

“Belum, Bun. Nggak lapar,” jawab Arshilla singkat.

Wira menggeleng pelan. “Nggak baik kalau kamu nggak makan, Nar."

Arshilla memaksakan senyumnya, ia paling tidak suka jika Wira menyematkan nama panggilan dari Bundanya sejak kecil pada Arshilla. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia merasa malas berlama-lama berbincang saat suasana rumah mulai ramai lagi dengan kehadiran Satrio.

Ketika Arumi sudah tak terlihat lagi, Arshilla berbalik menatap Satrio dengan tatapan malas. Mereka tak perlu kata-kata untuk saling tahu betapa saling kesalnya mereka.

Satrio melirik Arshilla, mengangkat sebelah alis. “Gue kayaknya bakal lama di kursi roda ini. Lo siap-siap aja gue repotin tiap hari."

Arshilla mendengus, “Lo nggak tau ya, gue malah seneng lo nggak bisa jalan? Setidaknya nggak bikin onar.”

Mereka terus saling sindir sebentar, sebelum akhirnya suasana rumah yang tadi tenang tiba-tiba berubah. Dari arah dapur, terdengar suara percakapan yang semakin lama semakin keras. Arshilla, yang tadinya santai, mulai menyimak.

“Lo denger nggak, Sat?” Arshilla bergumam pelan, menoleh ke arah Satrio.

Satrio juga mendengarkan dengan seksama. “Mereka ribut lagi ya? Aduh, klasik banget.”

"Lagi? Maksud lo apa?"

Satrio mengangkat kedua bahunya acuh. "Belom lama lagi juga cerai, di perjalanan pulang tadi mereka sibuk ngebahas gimana Ayah suka pulang malam, sibuk terus, tapi pengeluaran rumah tangga makin banyak yang gak terpenuhi." Melihat ekspresi Arshilla yang menyimak begitu serius, Satrio mengeluarkan seringainya. "Bunda lo ... Kena tampar sama Ayah."

Arshilla melotot. Satrio terkekeh. "Haduh, abis Bunda lo itu repot banget sih jadi cewek. Yang kerja kan bokap gue, terserah dong mau sibuk sampe-"

"Heh anak pungut! Sembarangan lo ya, terus lo diem aja gitu? Emang sialan lo, gue gak terima pokoknya." Arshilla hendak berdiri dan memberontak saat Satrio menarik tangannya dan menyuruh untuk duduk kembali.

"Bercanda, Cil. Lo jadi orang serius amat sih. Lagian gak ada tuh adegan tampar menampar, ya meskipun gue nunggu-nunggu itu terjadi sih." Satrio tetap melanjutkan aksi menjengkelkannya. "Mereka cuma ribut biasa."

"Gue justru mau ngajak lo kerjasama, gimana caranya supaya mereka bisa bertengkar lebih hebat lagi daripada itu."

Arshilla menampar leher Satrio. "Gila lo? Otak lo dimana?"

"Dengerin gue dulu, sebenernya gue males jelasin. Dan gue bener-bener males kalo harus kerjasama bareng lo. Tapi ini cuma sementara, karena kalo mereka cerai otomatis lo gak bakalan liat gue lagi. Begitupun sebaliknya."

Arshilla diam sejenak. Ia menoleh ke Satrio dengan raut bingung. Arshilla menatap Satrio dengan heran, lalu tersenyum licik. “Serius lo? Boleh juga tuh ide.”

(Not) A Crazy Family Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang