Bagian 1 [B]

219 46 1
                                    

"Mungkin kau salah lihat, atau kau terbawa lamunan sehingga kau berpikir lelaki itu tampak mirip dengan Heeseung." Jungwon melirik ke arah sahabatnya yang begitu murung setelah bercerita.

Jake menghela napas, "Masalahnya lelaki itu tidak mirip dengan Heeseung. Dia lebih seperti pangeran hedonis yang salah tempat di warung kopi itu."

"Kalau kau sebegitu penasarannya, kenapa kau tidak mendekati laki-laki itu?" Jake mengerjapkan matanya, "Aku, aku takut."

"Takut apa? Takut jadi korban pesona sang pangeran hedonis?" Jungwon terkekeh.

Bukan. Gumam Jake dalam hati.

Aku takut kalau aku sudah gila dan mengira semua orang sebagai Heeseung. Aku takut kalau ternyata aku hidup di dunia khayalanku selama ini. Jungwon menatap Jake dengan simpati, sahabatnya itu masih sering melamun dan tampak sedih, bahkan setelah setahun kematian Heeseung.

Ya, siapa juga yang tidak sedih, ditinggalkan kekasihnya sehari sebelum pernikahan mereka, kalau Jungwon mungkin tidak akan bisa setegar Jake menghadapinya.

"Datanglah ke sana lagi."

"Apa?" Jake mendongakkan kepalanya, mengernyit. "Datanglah ke warung kopi itu lagi, mungkin saja kau akan berjumpa laki-laki itu lagi, Entah dia memang mirip Heeseung atau dia hanya halusinasimu, setidaknya kau tidak akan bertanya-tanya lagi."

[★]


Jake melangkah ragu memasuki warung kopi itu.

Hari ini, tepat seminggu kemudian, pada jam yang sama, hari yang sama. Dia duduk dan memesan seperti biasa, lalu menunggu sambil mengeluarkan buku bacaan yang selalu dibawanya kemana-mana, terjemahan novel sastra inggris lama lama, berjudul Jane Eyre.

Hari ini juga sama, hujan turun begitu deras di luar, mendung membuat langit menghitam, sehingga suasana sore ini tampak seperti malam. Dan Jake menunggu. Menunggu laki-laki yang mirip Heeseung itu. Lama.

Hampir satu jam Jake menunggu, tetapi lelaki itu tak kunjung datang. Mungkin dia tak akan datang lagi, Jake mendesah. Mungkin kemarin memang hanya halusinasinya. Halusinasi yang muncul kala hujan turun. Karena dia terlalu merindukan Heeseung.

Warung kopi itu sudah hampir tutup karena sore sudah menjelang. Dan meskipun hujan masih turun dengan derasnya di luar, Jake mengemasi tasnya, kemudian melangkah pergi. Dengan gontai, dia berjalan menyusuri trotoar, berpayungkan payung kecil warna merah hati.

Entah kenapa dia merasakan sebersit kekecewaan karena ternyata laki-laki itu tidak ada. Yah, lagipula apa yang diharapkannya? Mana mungkin sebuah kebetulan terjadi dua kali?

"Hey. Tunggu sebentar."

Langkah Jake terhenti ketika menyadari panggilan itu ditujukan kepadanya. Kepada siapa lagi?

Trotoar itu sepi karena semua orang memilih berteduh di dalam, menghindari hujan deras. Dengan hati-hati Jake membalikkan badannya, dan untuk kesekian kalinya,

tertegun. Lelaki itu.

Dan memang tidak mirip dengan Heeseung. Sedang melangkah tergesa mengejarnya, tanpa mempedulikan baju dan rambutnya yang basah kuyup di terpa hujan. Novel Jane Eyre miliknya terlindung dalam lengan laki-laki itu.

"Kau meninggalkannya di meja." Lelaki itu berdiri, begitu tinggi menjulang di atas Jake, membuat Jake harus mendongakkan kepalanya ketika menatapnya.

Ketika Jake tidak berkata apa-apa, lelaki itu terkekeh, "Aku biasanya mampir di warung kopi itu pukul empat, sepulang kuliah, tetapi hari ini terlambat, karena hujan deras membuat jalanan macet dan banjir, ketika aku datang cafe sudah hampir tutup dan aku melihat buku itu di meja, dan melihatmu melangkah di trotoar ketika aku masuk. Betul bukan ini bukumu?" Lelaki itu mengulurkan buku nya, suara laki-laki itu mengeras, mencoba mengalahkan derasnya hujan.

Menghitung Hujan | sungjake ver.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang