Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun?
Menghitung tetes demi tetes yang tiada habisnya. Sendirian...
Karena kau tak pernah ada
Karena kau tak pernah sadar
Karena kau selalu tiada
Tahukah kau setiap hari aku menghitung hujan yang turun?
Menghitung tetes demi tetes cintaku padamu yang mulai berhamburan
Berhamburan jatuh dan menghilang ditelan bumi.[Menghitung Hujan] —1.
"Bersamamu selalu menyenangkan." Jake merebahkan kepalanya ke pundak Heeseung. Tersenyum sambil menatap hujan yang turun. "Jangan tinggalkan aku ya."
Heeseung tersenyum dan mengecup dahi Jake, "Tidak akan."
“Apakah kita bisa begini selamanya?”
"Selamanya sayang, yakinlah kepadaku"
“Kau tidak menyesal melamarku padahal aku belum lulus kuliah?”
Heeseung tersenyum lembut, "Kenapa tidak? Kau bisa menikah, dan tetap kuliah."
"Benar juga." Jake tertawa, "Tetapi hanya kau yang bekerja untuk rumah tangga kita nanti."
"Siapa bilang?" Heeseung mengerutkan keningnya, pura-pura tampak serius. "Aku akan menagihkan semua pengeluaran yang kukeluarkan untukmu begitu kau lulus kuliah dan menerima gaji pertamamu nanti."
Mereka lalu tertawa bersama, sambil menatap hujan turun. "Aku mencintaimu Jake. Aku berjanji akan membahagiakanmu, sekarang, ataupun nanti setelah kita menikah. Apapun yang terjadi, kau harus tahu. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
[★]
"Selamanya sayang, yakinlah kepadaku. Jantungku ini akan selalu berdetak, hanya untukmu."
Kalimat itu terngiang ditelinga Jake sederan aliran hujan yang turun, sekarang, di depan makam Heeseung dengan tanah merah yang masih basah.
Apakah Heeseung kedinginan di bawah sana?
Pertanyaan itu menggayutinya, menghancurkan hatinya, membuatnya memeluk dirinya sendiri yang gemetaran. Jake tidak pernah membayangkan ini akan terjadi.
Sampai dengan kemarin, yang terbentang di depannya adalah kebahagiaan, kebahagiaannya bersama Heeseung.
Tetapi ternyata yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kekasihnya direnggut dari sisinya tepat sehari sebelum pernikahan mereka.
Heeseung meninggal karena kecelakaan, ketika mencari rangkaian buket bunga untuk pengantinnya di saat-saat terakhirnya.
Mereka bilang, jenazah Heeseung menggenggam bunga itu ketika ditemukan, bunga mawar putih dengan kelopaknya yang hancur berguguran terkena benturan, bunga itu tidak putih lagi, berubah merah, terpercik darah Heeseung. Dan jantung Heeseung sudah berhenti berdetak.
Sudah tidak berdetak untuk Jake lagi, terkubur diam di sana, dalam tanah yang dingin, tidak terjangkau.
Apakah yang dipikirkan Heeseung pada saat-saat terakhirnya?
Jake mengernyit, tak mempedulikan hujan deras yang membasahi pakaian dan rambutnya sampai kuyup, dia berdiri dengan tegar, di depan makam itu, menatap nisannya dengan nanar.
Apakah Heeseung memikirkan dirinya?
Pernikahan mereka?
Air mata mulai menetes lagi di mata Jake, mata yang sudah kelelahan meneteskan kesedihannya. Bagaimana mungkin Heeseung meninggalkannya seperti ini?
Bagaimana mungkin Heeseung tega?
Jake berhak marah bukan?
Tetapi apa gunanya dia marah?
Heeseungnya sudah tidak ada, dan kesedihan sudah menelannya sampai remuk redam.Pelaminan itu kosong sekarang, tak akan pernah ditempati. Persiapan pesta berubah menjadi duka yang kelabu dan tumpahan air mata. Hati Jake hancur, hancur sejak Heeseung pergi meninggalkannya, selamanya.
[★]
Sepertinya hujan akan turun lagi. Jake mendesah, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil menatap ke arah langit.
Ini masih jam dua siang, tapi mendung menggayut seakan terlalu berat membawa isiannya yang kelabu, membuat langit makin menggelap.
Hujan yang turun pasti akan deras sekali. Jake menoleh ke kiri dan ke kanan dengan cemas, angkot yang ditunggunya belum tampak juga.
Kalau sampai hujan deras turun dan dia belum dapat angkot, Jake akan kehujanan. Dia harus mencari tempat berteduh.
Putusnya ketika rintik-rintik hujan mulai membasahi tubuhnya, menimpa kepalanya. Pandangannya terpaku pada sebuah cafe di sudut jalan.
Cafe itu tampak nyaman, dengan kanopi hijau dan tulisan "Warung Kopi Purnama" dengan huruf putih dan merah tebal berlatar hitam tergantung di ujung depan, seolah-olah memanggilnya.
Itu warung kopi kuno, alih-alih seperti sebuah coffe shop, malahan lebih mirip bangunan masa lampau yang salah tempat di tengah-tengah gedung-gedung ruko yang begitu tinggi.
Sejenak Jake merasa ragu, tetapi hujan turun makin deras, hingga dia akhirnya memutuskan masuk. Suasana tampak sepi, dan ternyata bagian dalam warung kopi itu lebih bagus daripada bagian luarnya.
Seperti cafe jaman belanda, dengan dinding berwarna krem dan kursi meja yang terbuat dari kayu jati, dengan hujan yang turun deras di sana, suasana tampak lebih dramatis.
Ini adalah jenis cafe dimana Jake bisa duduk berjam-jam tanpa bosan. Jake duduk, lalu memesan secangkir kopi, dan roti bakar sebagai temannya. Sepertinya dia akan lama di sini menunggu hujan, jadi tidak ada salahnya dia memesan makanan.
Jake menolehkan kepalanya ke sekeliling. Suasana Cafe cukup sunyi, hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati kopi di sana, mungkin berteduh, mungkin juga sedang bernostalgia.
Ketika pesanannya datang, Jake mengeluarkan buku, tetapi setelah beberapa lama mencoba berkonsentrasi membaca, dia menyerah.
Hujan itu menghalau konsentrasinya, dia lebih tertarik menatap hujan, menghitung helaan buliran air yang menghempas tanah, dan mengenang Heeseung. Hari itu juga hujan, ketika Heeseung kecelakaan.
Apakah hujan jugakah yang membunuh kekasih hatinya?
Suara berisik di pintu mengalihkan perhatian Jake dari hujan, dia mengernyit dan terpana menatap sosok yang memasuki pintu dengan rambut basah.
Heeseung?
Sejenak jantung Jake berdegup kencang. Tetapi kemudian kesadarannya kembali, itu sudah pasti bukan Heeseung.
Heeseungnya sudah meninggal karena kecelakaan itu, dia sendiri yang menaburkan bunga terakhir ke sana sebelum mereka mengubur jenazahnya.
Bagaimana bisa dia mengira orang ini sebagai Heeseung? Lelaki itu menatap ke arah Jake, lalu berkedip sejenak, kemudian mengalihkan matanya, dan melangkah menuju sudut lain di warung kopi itu, Jake terus mencuri-curi menatapnya, mencoba menemukan jawaban.
Lelaki ini tidak mirip dengan Heeseung, apalagi penampilannya berbeda. Heeseung selalu rapi, sederhana dan tampan dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya. Sedangkan lelaki ini berbeda, lebih urakan, lebih santai sekaligus elegan dengan rambut cokelat tua dan mata cokelat muda, hidung mancung dan bibir tipis yang sangat sesuai dengan keseluruhan wajahnya yang maskulin. Jangan lupakan alisnya yang tebal dan rahangnya yang tajam.
Lelaki ini begitu tampan, seperti lukisan. Jenis lelaki yang sudah pasti dihindarinya, karena pasti seorang pemain perempuan.
Dengan gugup Jake meneguk kopinya, berusaha menenangkan diri. Kenapa dia begitu tertarik dengan lelaki ini, seolah tidak mampu mengalihkan pandangannya?
Dan kenapa dia langsung teringat kepada Heeseung?
Apa karena caranya memasuki ruangan? dengan rambut basah tapi tidak peduli, khas Heeseung. Dan kenapa pula Heeseung terus memenuhi pikirannya, bahkan ketika dia sudah ingin melangkah, meninggalkan masa lalu dan melupakan Heeseung?
Apakah ini pertanda bahwa dia tidak boleh melupakan kekasihnya itu?
[Menghitung Hujan]
—————————
Sungjake Ver.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menghitung Hujan | sungjake ver.
Hayran KurguBagaimana jika jantungmu hanya berdetak untuk satu pemuda? Bagaimana jika jantungmu tetap setia bahkan ketika raga berganti? Sunghoon tidak pernah menduga bahwa Jake akan hadir dalam kehidupannya, bahwa dia akan mencintai Jake sedalam itu, bahwa ja...