Bab 02. Harapan Baru dan Persimpangan Jalan

408 131 451
                                    

❛❛Rencanakan masa depan dengan bijaksana, karena takdir akan selalu menghampiri, entah jodoh atau maut yang datang lebih dulu.❜❜

───────⊹⊱✫⊰⊹───────

Malam telah tiba, menyelimuti seisi rumah dengan hawa dingin yang menusuk. Gibran, terkungkung dalam kegelisahan, mendapati dirinya dihantui oleh pikiran-pikiran yang tak menentu. Tiba-tiba, Farhan muncul, menepuk pundak Gibran dengan penuh semangat. "Hai, Gib!" sapanya.

Gibran mengernyitkan dahinya, "Tumben ke rumah?" tanyanya, heran. "Ya, ini, kan, rumahku juga," jawab Farhan, mengedipkan matanya dengan nakal. "Eh, ini empuk juga ternyata kasurmu, aku menginap, ya," lanjut Farhan, dengan santai merebahkan dirinya di atas kasur milik Gibran.

Farhan mulai berguling-guling di atas kasur, mengundang decak kesal dari Gibran. "Tidur, ya, tidur saja, seperti orang ingin perang saja tingkahmu," ucap Gibran dengan nada kesal yang khas.

"Hitung-hitung latihan nanti kalau perang sama istri, hahaha," ujar Farhan, tawanya menggema di kamar Gibran yang luas.

"Otakmu! Belajar yang benar!" timpal Gibran dengan tegas, sembari menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku sudah belajar, tetap saja tidak pintar-pintar," sahut Farhan menatap tumpukan buku di meja belajar Gibran, sedikit penyesalan tersirat dalam suaranya.

"Usahamu kurang!" Gibran menimpali, dua kata bijak yang membuat Farhan terdiam, merenungkan ucapan sahabatnya. Ia menyadari bahwa usahanya dalam belajar memang masih kurang. Farhan selama ini terlalu terlena dengan dunia game, melupakan waktu untuk belajar. Gibran, meskipun juga gemar bermain game, tidak seintens Farhan yang bermain berjam-jam lamanya.

Gibran melanjutkan, "Sekarang kamu tahu, kan, bedanya kita dari mana?" Farhan mengangguk, memahami perbedaan dalam pendekatan belajar mereka. "Kamu benar," ucap Farhan, membenarkan pernyataan Gibran.

♡♡♡

Matahari telah mencapai titik zenitnya di langit, namun kedua remaja itu, Gibran dan Farhan, masih tertidur lelap. Beberapa saat kemudian, ketukan pintu terdengar dari luar, memecah kesunyian pagi. "Gibran! Farhan! Ayo bangun, Nak! Sudah jam sembilan pagi." Suara Riana, ibu Gibran, terdengar dari balik pintu, penuh harap agar kedua anak lelakinya segera merespon.

Setelah mengetuk berulang kali, Gibran akhirnya terbangun dari tidurnya. Ia membuka pintu kamarnya dengan setengah sadar. "Iya, Ma," jawab Gibran, suaranya masih berat karena kantuk.

Riana menatap Gibran yang masih mengantuk. "Ya ampun, Gibran! Ini sudah jam berapa? Segera mandi dan sarapan! Mama sudah menyiapkan makanan, cepat turun nanti makanannya dingin," ujar Riana.

"Iya, Ma," jawab Gibran singkat, lalu bergegas menuju kamar mandi.

Usai mandi, Gibran menatap Farhan yang masih tertidur lelap, wajahnya tenang tanpa beban. "Woi, bangun!" Gibran melemparkan bantal ke arah Farhan, berharap dapat membangunkan sahabatnya. "Apa sih, Gibran? mlMengganggu orang tidur saja, lagipula ini hari Minggu." Farhan kembali memeluk gulingnya, enggan untuk bangun.

Gibran berdecak kesal. "Bangun atau-" Mendengar nada mengancam Gibran, Farhan seketika membuka matanya. Ia merasakan ada yang tidak beres. Dengan sigap, Farhan bangkit dari tempat tidur.

"Segera mandi! Aku tunggu di meja makan, cepat!"

"Iya, iya," jawab Farhan mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi. "Asyik, makan gratis!" gumamnya dengan senang, senyum merekah di wajahnya.

Setelah selesai mandi, Farhan turun ke bawah. Di sana, Gibran sedang membaca berita di ponselnya. "Kamu mandinya lama sekali, ritual apa yang kamu lakukan di kamar mandi?" selidik Gibran, matanya menyipit, ingin tahu apa yang membuat Farhan begitu lama di kamar mandi.

GibrantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang