Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menembus padatnya pagi hari kota Jakarta. Mobil bak terbuka yang aku naiki mengangkut berbagai barang-barang milik karyawan di mess konveksi tempatku mencari nafkah satu tahun ini. Harga sewa di gedung sebelumnya naik, Bos tak mau ambil resiko karena orderan barang di konveksi kami juga tengah sepi.
Aku dan 3 karyawati lain di tugaskan Bos untuk ke gedung lebih dulu unuk membersihkan gedung. Di gedung itu sudah meunggu bosku--Bos David dan beberapa karyawan yang tengah membersihkan ruangan yang nantinya di gunakan sebagai ruangan mesin. Sementara aku di tugaskan membersihkan area mess di lantai 3.
Setelah bermacet-macetan cukup panjang kami akhirnya sampai di daerah asing bagiku karena ini memang pertama kalinya ke tempat ini. Aku hanya tahu ada Mall besar di ujung jalan. Juga sungai berwarna keruh dan juga bau sampah. Sangat berbeda dengan gedung sebelumnya yang berada di komplek ruko perkantoran yang sangat bersih.
Setelah menurunkan barang, mobil tadi kembali ke tempat kami sebelumnya untuk mengambil beberapa barang lagi. Di gedung lama juga sama sibuknya karena mereka masih membereskan tempat itu juga.
"Kalian naik aja ke lantai tiga, di sana sudah disiapkan beberapa alat untuk bersih-bersih. Air juga sudah menyala. Nanti kalau butuh apa-apa pangil saja Mas Bagyo. Aku mau ngurus perpindahan mesin jahit dan bordir dulu," titah Bos berwajah khas Chinese itu.
Gegas kami berempat melalui tangga ke lantai tiga. Sebelum masuk tadi, aku memandangi gedung berlantai tiga itu. Baru aku sadari, gedung tua di hadapanku ini terlihat sangat tua. Seolah sudah terbengkalai selama puluhan tahun. Bahkan catnya sudah berlumut dan terkelupas di sana sini.
Hawa dingin merangsak naik menembus pakaianku. Aku terdiam sejenak saat melangkahkan kaki di satu anak tangga pertama.
"Maya, ngapain nglamun. Ayo naik, udah siang nih." Rika—gadis bertubuh kecil itu membuyarkan lamunanku. Dia lanjut berjalan menyusuri tangga sambil bercanda dengan gadis berbadan besar di sampingnya bernama Jeni.
"Kenapa, May. Ada yang gak beres, ya?" tanya Mbak Desi—ibu 2 anak yang mengajakku bekerja di konveksi ini setahun lalu. Kami cukup dekat hingga ia tahu, jika aku adalah orang yang peka terhadap hal-hal yang orang lain anggap sebagai hal yang ghaib. Meski tak sepeka orang-orang yang mereka anggap anak indigo karena aku tak bisa melihat hal-hal itu. hanya saja kadang aku sadar bahwa 'mereka' ada.
Aku tersenyum saja sambil menghela nafas menanggapi pertanyaan Mbak Desi tadi. Mbak desi menepuk punggungku pelan sebelum mendahuluiku naik ke atas. Aku menghirup nafas panjang untuk menenangkan perasaanku sebelum melanjutkan langkah.
Dari tangga aku bisa melihat seluruh area lantai satu yang sangat luas. Beberapa mesin sudah tertata di sana dengan para mekanik mesin yang tengah menyeting computer di mesin jahit untuk bordir. Sebelum naik ke lantai dua, tangga itu menikung dan memiliki sudut yang bisa melihat ke bawah. Sudut itu hanya sekitar setengah meter tingginya karena terhalang tembok sebeum tangga selanjutnya ke lantai dua.
Saat di lantai dua terasa hangat, tak sedingin di bawah tadi. Saat sudah naik terdapat balkon di samping tangga dengan dinding kaca sepenuhnya yang memperlihatkan perumahan kumuh dibawah jembatan layang tepat di samping gedung. Di lantai itu akan digunakan sebagai rumah untuk Bos David dan keluarganya. Di beberapa bagian sudah di sekat dengan papan kayu dan terlihat seperti sebuah apartemen kecil. Di samping balkon terdapat ruangan kecil berdinding kaca. Tampaknya akan digunakan sebagai kantor karena komputer staff dan tumpukan berkas sudah ada di sana.
Kali ini aku langsung menuju lantai tiga, tangganya lurus langsung ke atas. Saat menaiki tangga ku dengar Rika, Jeni dan Mbak Desi yang sampai duluan tengan bercanda sambil menyetel musik. Mereka memang suka sekali mendengarkan musik. Bahkan saat bekerja seolah area kerja adalah area konser. Akan tetapi tumben sekali mereka menyetel musik India. Biasanya lagu Sheila on 7 atau Ungu menjadi lagu kesukan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG TUA BERHANTU
HorrorDi sebabkan harga sewa gedung yang mahal, koveksi tempat Maya bekerja akhirnya dipindahkan. Namun mimpi buruk di mulai ketika Maya sampai di gedung baru tempat mereka bekerja. Teror demi teror harus di alaminya bersama teman-temannya. mampukah merek...