" Maya! Bangun!"
Aku langsung terkesiap bangun. Jantungku berdebar dengan sangat cepat seolah habis lari marathon belasan kilometer. Keringat mengucur membasahi wajah. Nafasku juga terasa sangat sesak. Aku menoleh kesekeliling. Hanya ada Mbak Desi disana dengan wajah panik.
"Mbak Desi tadi dimana?" tanyaku yang masih mengatur nafas. Aku juga masih bingung, perasaan tadi aku ada di lantai atas. Kenapa aku ada di lantai tempat tadi kami tiduran.
"Aku daritadi gak kemana-mana. Harusnya aku tanya ke kamu, kenapa tadi? Teriak-teriak minta tolong begitu. Untung Rika gak tidur tadi dan langsung membangunkanku dan Jeni. Kamu kaya orang kesurupan tadi, loh. Aku bangunin berkali-kali gak bangun juga. Tau gak kaya apa paniknya kita tadi!" ungkap Mbak Desi dengan wajah panik. Ia langsung memelukku sambil menangis. Aku yang masih bingung hanya bisa terdiam dan terus mengatakan bahwa aku baik-baik saja agar kekhawatiran mereka mereda.
Tak lama langkah kaki terdengar cepat menaiki tangga menuju kami. Rika dan Jeni berjalan ke arah kami membawa Pandu dan Mas Bagyo di belakagnya.
"Maya? Kamu gak apa-apa?" tanya Pandu langsung mengecek keadaanku.
"Aku gak apa-apa?" jawabku agar mereka tak panik.
Rika dan Jeni langsung terduduk lemas di lantai. Mereka terlihat sama paniknya dengan Mbak Desi tadi.
"Kalian tadi kemana? Aku nyariin gak ada," tanyaku pada Pandu dan Mas Bagyo.
"Aku di bawah, gak kemana-mana. Masih benerin mesin. Lagian sebenernya tadi kejadiannya gimana sih?" tanya Pandu.
Rika tampak gemetaran menjawabnya. "Aku lagi main hape tadi, setelah Maya nyampein pesan dari Pandu, dia bilang mau tidur. Tetapi tiba-tiba Maya bangun lagi dan Cuma duduk diam. Aku tanya dia gak jawab apa-apa. Aku bangunin yang lain, setelah itu maya terus bilang tolong dan terus teriak-teriak gak jelas. Kita coba bangunin, tapi gak ada reaksi apapun. Makanya aku panggil kalian," jelas Rika. Jeni dan Mbak Desi menanggapinya dengan anggukan.
"Minum ini, May." Mas Bagyo menyerahkan sebotol air mineral yang tampaknya sudah ia doakan karena aku melihat ia berkomat-kamit sebelum menyerahkannya padaku.
"Kamu sendiri gimana, May?" tanya Pandu. Aku belum menjawabnya karena masih meminum air itu setelah berdoa juga.
"Aku gak merasa tidur tadi. Aku Cuma jalan-jalan keliling sini." Aku menunjuk ruangan besar ini. "Terus, pas aku balik kalian gak ada. Aku cari kesana-sini gak ada. Terus aku kembali lagi ke sini dan . . . . "
Aku menghentikan penjelasanku. Perutku tiba-tiba terasa sangat mual.
"May, kenapa?" Pandu menanyakan keadaanku. Akan tetapi rasa mual sudah naik ke atas tenggorokan dan lekas aku berlari ke kamar mandi. Di belakang terdengar Pandu berlari mengikuti dan terus memanggilku.
Benar saja saat aku sampai di kamar mandi, aku langsung muntah dan ada gumpalan rambut dan sedikit darah di sana. Aku yang terkejut langsung terduduk lemas di lantai kamar mandi. Pandu langsung menarik dan memapahku keluar. Mas Bagyo terdengar langsung beristighfar dan membersihkan muntahanku itu.
"Sebaiknya kita turun saja," ajak Pandu.
Mereka tak bertanya apapun lagi saat di bawah. Aku dibiarkan istirahat di lantai satu. Sementara yang lain melanjutkan pekerjaan mereka. Mas Bagyo tampaknya melapor pada Bos David, karena setelah itu Bos David langsung memastikan keadaanku. Ia memintaku ke dokter, tapi aku menolaknya karena memang aku sudah jauh lebih baik.
Sore akhirnya tiba. Kami masih di gedung ini. Mobil jemputan masih belum juga tiba. Beberapa pekerjaan sudah beres. Kami di belikan makan malam oleh Bos berupa nasi padang. Kami kembali bercanda usai makan. Kami tak membahas lagi apa yang sudah terjadi tadi. Mereka kembali seperti biasa dan penuh candaan. Aku yang baru selesai makan, kemudian menuju kamar mandi kecil tepat di bawah tangga. Tempatnya sedikit kotor, pengap dengan lampu remang-remang. Tampak sedikit menakutkan, tapi anehnya aku merasa biasa saja di sana tak seperti saat di kamar mandi atas tadi.
Setelah mencuci tangan dan membasuh wajah, aku kembali duduk di lantai tepat di samping Pandu dan Rika. Kami mendengarkan banyolan Khas Rudi, salah satu karyawan yang juga di tugaskan mengurus mesin di sini. Ia memang terkenal humoris di antara kami. Mungkin karena dialah malam ini tak terasa menakutkan.
Saat sedang serius mendengarkan Rudi, aku merasa melihat seseorang berjalan ditangga dari lubang di sudut tangga yang aku lihat tadi saat pertama kali datang. Terlihat sebuah kaki berjalan naik di sana dengan sepatu merah.
Aku mencoba berpikir positif bahwa itu adalah salah satu dari kami. Tapi sepatu itu milik seorang wanita. Aku melihat pintu menuju tangga. Rolling doornya tertutup. Hanya ada satu jalan masuk di pintu besar untuk masuk mesin di hadapanku. Namun tak ada seorangpun masuk dari sana sedari tadi. Aku menghitung kembali orang-orang disana.
"Bos David, Mas Bagyo, Rudi, Joko, Pandu, Mas Andi, Mbak Desi, Jeni, Rika. Semuanya ada disini. Gak mungkin kan aku salah lihat. udah Maya! gak usah mikir aneh-aneh, deh."
"Kamu lagi ngedumel apa sih, May?" tegur Pandu menyadarkanku.
"Gak apa-apa." Kuberi seutas senyum untuk menutupi kebohonganku. Aku tak ingin mereka khawatir lagi. Juga tak ingin jika sampai ada keributan lagi.
Aku memandang tangga itu lagi. Suasananya gelap karena memang belum di beri lampu. Hanya sedikit sinar saja yang menyinari bagian tangga dari ruang mesin tempat kami duduk sekarang.
Malam kian larut, sudah pukul Sembilan malam ketika mobil yang menjemput kami akhirnya tiba. Namun kami harus menunggu mobil itu menurunkan mesin jahit lebih dulu.
Aku, Mbak Desi, Jeni dan Rika memutuskan pergi jalan-jalan di gang depan. Melihat suasana malam di sekitar sana. Di sepanjang pinggiran sungai terdapat kursi-kursi yang di buat dari bambu dan kayu bekas oleh warga sekitar. Kami berempat duduk di sana di bawah pohon ketapang yang tumbuh rindang di sampingnya. Sedikit dingin karena kami tak membawa jaket. Tak tahu jika sampai malam begini.
Lagipula tadi hanya barang-barang berat milik anak-anak mess yang di bawa. Sementara tas kami yang berisi baju masih ada di mess lama. Besok baru kami pindah bersama-sama.
"May, sebenernya siang tadi kamu kenapa sih?" tanya Mbak Desi tiba-tiba. "Dari tadi aku mau tanya, tapi selama masih di sana aku gak berani. Jadi, mumpung kita lagi di luar."
Aku terdiam lebih dulu. Rika dan Jeni juga tampak penasaran menanti jawabanku.
"Woy, kenapa? Sumpah kita penasaran." Jeni memaksa dengan raut ingin tahu.
"Entahlah aku juga bingung. Aku sampai gak tahu itu mimpi atau nyata. Rasanya mencekam dan . . . ." Aku terdiam lagi. Tak tahu harus menjelaskan darimana. Wajah mereka semakin penasaran.
"Ah, udah lah. Kalau ingat kepalaku pusing." Sengaja aku tak mau melanjutkan cerita. Takut jka mereka akan takut nantinya.
"Yah! Penasaran banget ini! Lagian kok bisa sampai muntah rambut sama darah begitu sih?" tanya Jeni.
"Gak tahu aku sumpah. Semuanya kaya ngimpi jadi aku juga gak tahu, yang jelas sekarang kita baik-baik aja. Aku juga dah gak ngerasa apapun," jawabku tak ingin lagi mengingat hal tadi, "yang penting sekarang semuanya baik-baik saja, kan?"
"Ya, yang penting, jangan sampai ada kejadian aneh-aneh lagi," kata Mbak Desi di susul anggukan setuju dari kami bertiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG TUA BERHANTU
HorrorDi sebabkan harga sewa gedung yang mahal, koveksi tempat Maya bekerja akhirnya dipindahkan. Namun mimpi buruk di mulai ketika Maya sampai di gedung baru tempat mereka bekerja. Teror demi teror harus di alaminya bersama teman-temannya. mampukah merek...