PART 3

2 1 0
                                    


Hampir tengah malam ketika kami pulang kembali ke mess lama. Teman-teman yang lain sudah terlelap di kasur lantai tipis yang berjajar rapi di kamar berukuran 4x4 itu. Ada 15 orang denganku di ruangan ini. Segera aku merebahkan diri di tempat biasa aku tidur tepat di samping pintu masuk kamar. Setelah membersihkan diri tadi badanku terasa sangat lelah. Ingin sekali segera memejamkan mata.

Mbak Desi dan lainnya lebih cepat terlelap. Sepertinya mereka sama lelahnya denganku. Namun setelah setengah jam merebahkan badan, aku tak juga bisa tertidur. Hingga aku memutuskan untuk membuat teh dan duduk sebentar menikmati malam terakhir di gedung ini.

Air dari dispenser tak terlalu panas, sehingga ku putuskan untuk memasaknya lagi di kompor. Sambil menunggu airnya mendidih aku mengingat mimpi aneh siang tadi. Jika itu mimpi, kenapa leherku terasa sangat sakit hingga sekarang. Bahkan tadi sesudah mandi ketika bercermin, ku lihat bekas cekikan di sana. Semua ini tak masuk akal sama sekali. Baru pernah aku mengalami hal seperti ini. Apa ada yang salah denganku atau bagaimana. Aku rasa, aku sudah permisi ketika masuk gedung itu tadi.

"Ntar kesambet nglamun malam-malam begini."

Aku terperanjat mendapati Pandu yang sudah berdiri di sampingku tanpa di sadari. 

"Bikin kaget aja," protesku dengan pukulan kecil ke bahunya.

"Ya, lagian kamu sendiri ngapain nglamun sendirian tengah malam begini. Tuh, airnya udah mendidih dari tadi di biarin aja."

Aku tersadar dan gegas ku matikan kompor sebelum air yang hanya setengah panci kecil itu habis menguap.

"Mau buat teh, kan? Sekalian, ya." Pintanya sambil berlalu pergi ke atas loteng tanpa mendengar jawabanku setuju atau tidak.

Teh siap, aku menyusul Pandu ke atas. Pandu duduk di sofa rusak yang sudah bolong sana-sini tempat biasa anak-anak Mess berkumpul. Ia tengah mengikat rambutnya yang memang gondrong itu.

"Ini tehnya bos." Aku meletakan segelas teh yang masih panas di atas ember yang di balikan dan di gunakan sebagai meja.

Pandu menyalakan rokok di tangannya. Kemudian menghembuskan asapnya ke udara. "Thank you, tehnya."

"Iya," jawabku.

Aku menatap langit gelap di atas sana. Di tempat ini memang sedikit sepi karena memang area ruko perkantoran dan cukup jauh dari jalan raya. Hanya sesekali ada suara jangkrik memecah keheningan malam dari area tanah kosong di samping gedung ini.

"Masih penasaran, ya."

"Hah? Maksudnya?" aku tak mengeti arah pembicaraan Pandu sekarang.

Pandu menunjuk luka di leherku.

"Oh, ini. Kok, kamu bisa sadar? Padahal sedari tadi kayaknya gak ada yang tahu bahwa aku punya luka ini." 

"Aku udah lihat dari pas pertama naik ngecek kamu. Aku kira memang sudah ada luka itu. Akan tetapi aku ingat saat bertemu kamu di lantai dua. Aku gak lihat itu," jelasnya.

"Entahlah. Sampai sekarang aku aja bingung dengan apa yang terjadi. Aku baru pernah mengalami hal seextrim ini."

"Aku juga. Padahal hari sebelumnya kami menginap di sana lebih dulu, tapi tak ada apapun. Kata Mas Bagyo mungkin kamu membawa sesuatu yang tidak mereka sukai atau ada hal lain," kata Pandu membuatku bingung.

"Memangnya aku membawa apa? Aku gak pernah main hal-hal ghaib," sangkalku yang memang tak pernah bermain hal-hal begitu.

"Mungkin kamu memang gak main, tapi mungkin ada anggota keluargamu yang menjagamu dengan membekali kamu sesuatu."

GEDUNG TUA BERHANTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang