Sepulang makan malam, sepanjang jalan aku terus memikirkan tentang kejadian yang menimpaku selama ini. Mengaitkannya dengan beberapa kejadian, tapi tak juga menemukan jawabannya. Hingga satu hari sebelum mulai bekerja aku demam tinggi.
Hanya obat yang aku beli di warung depan gedung saja yang menjadi senjataku saat ini. Uang gaji yang pas-pasan membuatku harus membiasakan diri dengan obat-obatan di warung dan tak boleh memanjakan diri sebentar-sebentar ke dokter, kecuali sakitnya memang sudah tak bisa di tangani lagi oleh obat murah ini.
Aku hanya sendiri di kamar. Siang ini, teman-teman yang lain berniat ke mall depan. Semalam mereka ke sana dan mall sudah akan tutup. Karyawan laki-laki juga entah nongkrong kemana. Hanya ada Mas Bagyo, Boss David, Pandu dan Rudi di lantai satu yang tengah menyelsaikan setting mesin agar besok sudah bisa langsung digunakan.
Meski pusing, karena bosan aku memutuskan keluar dari kamar. Duduk disofa yang di letakan di balkon memandang gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang terlihat dari kejauhan. Angin semilir membuatku terasa lebih segar, meski suara bising kendaraan di jembatan layang sedikit membuat telingaku sakit.
"Ngapain duduk sendirian di sini, May?" tanya Pandu yang sudah berdiri di sampingku. Kemudian ia duduk di sampingku.
"Bosen aja di kamar," jawabku.
"Mikirin apa sih? Soal gadis di rumah kosong di perumahan sana?"
Aku langsung menatapnya bingung. "Tau darimana?" aku bertanya padanya, merasa aku tak menceritakan hal itu pada Pandu. Ataukah mungkin yang lain bercerita padanya? Memang mulut mereka mulut gosip. Padahal aku sudah melarang mereka menceritakannya.
Pandu hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku tadi. Tak lama ia bersuara lagi. "Mungkin mereka hanya ingin menyapa kamu saja. Kamu jauh lebih kuat dari yang terlihat. Tak semua dari mereka jahat atau jahil, mungkin juga kamu pernah menolong salah satu dari mereka tanpa sengaja dan mereka memutuskan untuk membalas budi dengan melindungi kamu. Namun malah membuat kamu sakit begini."
Otakku yang memang hanya sebiji kopi ini, langsung berasap ketika harus memikirkan apa yang di maksud Pandu. Aku tak mengerti dengan apa yang ia katakan barusan. "Kamu ngomong apa, sih?" tanyaku.
Pandu hanya tersenyum dan mengusap rambutku. Aku menatap mata Pandu tanpa sengaja, tapi ada yang aneh, aku tak pernah melihat tatapan itu dari Pandu yang biasannya. Hingga suara knalpot motor yang sangat memekakan telinga mengalihkan pandanganku.
"Sebel banget kalo ada motor pake knalpot gitu!" ocehku sambil menutup telinga.
"Anu, Pan . . . ."
Eh, Pandu kemana?
Saat aku menoleh pria jangkung berkumis tipis itu tak ada di sampingku. Bagaimana ia pergi secepat itu saat aku mengalihkan pandangan. Tak lama suara langkah kaki menaiki tangga terdengar. Pandu berjalan di tangga dengan membawa nasi bungkus di tangannya.
"Loh, May, ngapain di situ? Demamnya belum turun, kan? Ini makan siang yang kamu pesan tadi?" kata Pandu sambil berjalan ke arahku.
Aku tetap diam sambil menatap Pandu yang tengah membukakan nasi Bungkus untukku juga sebotol air mineral.
"Kamu Pandu, kan? Tadi kamu kan udah ada di sini? Kok kamu dari bawah sih?" tanyaku sambil menyentuh wajahnya dengan jari telunjukku. Aku bisa menyentuhnya dan hangat.
"Apaan, sih, May? Aku jadi merinding tau gak?" Pandu langsung melihat sekelilingnya dan mengusap-ngusap tengkuk lehernya. "Aku kan dari tadi di bawah setting mesin. Ini juga baru istirahat dan beliin kamu rames dulu. Jangan aneh-aneh deh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
GEDUNG TUA BERHANTU
HorrorDi sebabkan harga sewa gedung yang mahal, koveksi tempat Maya bekerja akhirnya dipindahkan. Namun mimpi buruk di mulai ketika Maya sampai di gedung baru tempat mereka bekerja. Teror demi teror harus di alaminya bersama teman-temannya. mampukah merek...