Part 3

64 2 0
                                    

Mataku mengerjab mendengar penuturannya. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Berharap dia salah bicara atau sedang sakau karena pengaruh obat.

"Lupakan!" ucapnya dengan tegas.

Membuat kesadaranku segera kembali. Aku bahkan belum sempat bertanya apa aku salah dengar atau tidak. Tapi sepertinya aku memang salah.

"Pokoknya aku akan lebih sering datang untuk menagih hutang padamu." Dia membuang muka dan berlalu melewatiku.

Aku masih terdiam, membuang pikiran buruk yang mungkin terjadi. Amit-amit jika pikiranku ini sampai benar. Aku menggeleng cepat hingga tak sadar bahwa kini ada seorang wanita yang telah berada di hadapanku setelah aku berbalik.

"Ta-Tante?" Aku kembali tergagap saat berhadapan dengan ibunya Daryan.

Plak!

Tangan halusnya tiba-tiba mendarat di pipiku. Tanpa kata, aba-aba, apalagi peringatan. Menciptakan rasa panas dan pedih hingga membuat mataku terasa menghangat.

"Sudah saya bilang jangan ganggu Daryan lagi. Kamu mau mempermainkan saya, ha? Di mana Daryan sekarang?" Suara cemprengnya tampak sangat marah.

"Daryan? Aku tidak tahu," jawabku seadanya. Satu harian ini dia memang belum datang menemuiku.

"Jangan pura-pura suci. Kau mengajak Daryan menginap? Dasar murahan!" Matanya memerah menahan amarah. Hingga tangannya kini kembali mengudara dan bersiap ingin menamparku sekali lagi.

Dengan cepat aku menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha mengelak. Aku menunggu lama, tapi tak ada pukulan sama sekali. Tangannya belum juga sampai ke bagian tubuh mana pun.

Aku memberanikan diri menoleh, hingga kulihat tangannya kini tertahan di udara akibat cengkraman seseorang.

Ren? Dia belum pergi?

"Jaga tanganmu. Jangan sembarangan memukul orang!" ucap Ren tegas, lalu melempar tangan wanita itu asal.

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, merasa tidak enak karena telah ingkar janji pada wanita itu.

Tapi aku benar-benar tidak tahu di mana Daryan sekarang. Ucapannya ternyata serius tentang tak mau pulang. Mereka pasti bertengkar hebat, hingga Daryan sampai tak pulang semalaman.

"Berani sekali kau bersikap seperti ini padaku?" Ibunya Daryan berang dengan sikap Ren. "Dasar preman!"

Ren menepikan tubuhku agar menjauh dari wanita itu. Dia menggeser tubuhnya membelakangi agar menjadi tameng untuk melindungiku. Aku mengintip reaksi wanita itu dari balik tubuh Ren. Entah apa yang akan terjadi.

"Anda rentenir?" Ren bertanya dengan polosnya.

Aih, gila!  Apa dia berpikir hidupku hanya dikelilingi orang-orang seperti dia?

"Jangan sembarangan bicara. Kau tidak lihat aku ini wanita terhormat?" Diam-diam aku mengangguk mengiyakan. Gaya bicaranya memang terlihat sangat elegan.

Apalagi saat melihat tangannya mengusap bekas cengkraman Ren. Sungguh berkelas. Putarannya teratur dan tidak asal-asalan.

"Memukul orang sembarangan. Apa itu namanya terhormat?"

"Kau siapa? Apa kau penjaga keamanan di sini? Baguslah. Bilang pada gadis itu, jangan...."

"Dia pacarku, Tante!" Aku memotong ucapan mereka. Lalu refleks merangkul lengan Ren dengan erat. Laki-laki yang baru saja bersikap garang tadi mendadak diam terpaku.

"Pacar?" Matanya menyipit.

"Iya. Bukankah anda menyuruhku putus dari Daryan? Aku tak ada hubungan apa pun lagi dengannya. Tadi malam dia memang datang. Tapi aku segera menyuruhnya pulang. Mana mungkin aku mengingkari kesepakatan kita. Aku bukan tipe orang yang suka ingkar janji. Anda bisa pegang ucapanku." Aku menjelaskan dengan lantang.

ANAK ORANG KAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang