"Uangnya sudah aku kembalikan," lapor Daryan.
"Ibumu bilang apa?"
"Dia bilang kau plin plan."
"Mana mungkin." Aku tergelak. "Itu pasti hanya karanganmu saja." Dia ikut tertawa.
Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.
Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.
Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.
Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.
Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar kehaluan saja. Dia benar-benar dari keluarga kaya raya.
"Yan."
"Apa?"
"Waktu itu, kau sengaja mengupload foto agar aku datang, kan?" Aku memberi kesimpulan. Dia tersenyum kecil. Tak menampik.
Bagaimana tidak. Dia sudah hafal jam berapa biasa aku menutup dagangan. Saat itulah dia memajang foto di instagram agar aku tahu dia dimana.
Pemuda yang mengaku sebagai anak bungsu itu pasti tahu kalau aku sedang berusaha mencarinya melalui semua akun. Untuk itu dia memberi sebuah petunjuk. Pantas saja, tak ada gurat keterkejutan di wajahnya saat bertemu denganku di sana. Bahkan sepertinya aku sedang dinantikan.
"Kau sengaja menungguku, kan? Bagaimana kalau aku tidak datang?"
"Kenapa? Karena sibuk pacaran?"
"Yan!"
"Iya, iya. Kau hanya pura-pura. Sudah ratusan kali kau mengatakannya."
Malam itu, aku menceritakan tentang kedatangan ibunya. Juga tentang sandiwaraku bersama Ren. Tentu saja tanpa mengadu bahwa wanita yang telah melahirkannya itu sudah menamparku dengan keras.
"Pria itu terlihat tampan. Kau yakin tidak merasakan apapun saat memeluknya?"
"Aku tidak memeluknya, Daryan. Dia yang mengambil kesempatan!" protesku.
"Tapi tetap saja dia terlihat menarik."
"Tidak sama sekali."
"Bagaimana kalau dia menyukaimu."
"Amit-amit." Aku mengusap perutku seperti wanita hamil yang takut anak dalam kandungannya mirip dengan orang yang dia benci. Daryan terkekeh.
Begitulah percakapan kami sepanjang jalan, saat Daryan mengantarku pulang. Aku juga bercerita bahwa laki-laki itu adalah Ren. Rentenir yang selama ini menagih hutang dengan garang padaku.
Sekian lama mengenalku, mereka memang tidak pernah saling bertemu. Ren memang selalu begitu. Seperti pengamat yang selalu mengawasi gerak-gerikku. Tak pernah datang saat jualanku sedang ramai. Lalu tiba-tiba muncul dengan wajah garang dan selalu mengintimidasi saat aku sedang sendiri.
Terkadang aku juga merasa ngeri. Takut jika dia akan melakukan tindakan kekerasan seperti debt collector pada umumnya. Untuk itu aku selalu bersikap kasar, agar dia tahu aku bukan wanita lemah yang bisa selalu ditakut-takuti. Meski sebenarnya rasa was-was itu memang ada saat melihatnya datang.
Kesalah pahaman terjadi saat Daryan datang keesokan harinya. Sebelum turun dari mobil, dia melihat Ren duduk di depan booth container. Penampilannya sama persis seperti yang ibunya ceritakan.
Gaya berpakaian Ren dan juga topinya membuat dia mudah untuk dikenali. Sebelumnya, tak pernah ada yang menghampiriku seperti itu selain Daryan. Karena itu dia mengambil kesimpulan, bahwa aku benar-benar telah berpacaran.
"Kupikir kau tak butuh aku lagi. Lagi pula, aku tak suka merusak hubungan orang. Kalau suatu hari kau punya pacar, aku tak akan mungkin datang lagi," rajuknya malam itu. Membuatku berpikir, laki-laki macam apa Daryan ini.
Terdengar lemah sebagai seorang lelaki. Bahkan terkesan tak ingin berjuang, andai wanita yang disukai sudah ada yang memilki.
"Tapi kau sengaja memintaku datang."
"Itu karena aku tak ingin kau tersiksa karena merindukanku."
"Hish, Daryan!" Aku memukul bahunya. Kesal.
Dia kembali terkekeh.
*
"Kalau ibumu datang lagi, aku harus bagaimana, Yan?" tanyaku serba salah.
Di satu sisi aku benci diintimidasi. Tak ingin diremehkan hanya karena aku miskin. Tapi di sisi lain, musuh yang harus kuhadapi saat ini adalah ibu dari temanku. Seseorang yang yang katanya membutuhkan aku di sela-sela rasa bosannya. Meski kenyataanya, akulah sebenarnya yang lebih membutuhkan dia.
Dia menatapku tajam. Terlihat serius. Membuatku merasa tidak enak. Dia pasti berpikir kalau aku berusaha meminta izin untuk melawan dan bersikap kasar pada wanita yang paling disayanginya.
"Baiklah," ucapku pelan. "Demi kau, aku akan diam saja saat ibumu marah-marah nanti. Kau tidak perlu takut akan keadaanku. Tetaplah datang. Aku tak akan kalah. Ibumu tidak akan berbuat macam-macam. Bila perlu, aku akan menjamunya dengan baik. Meracik boba terenak agar ibumu suka. Dia pasti akan mengerti, kau punya alasan kenapa sering datang kemari."
Daryan memandangku tanpa berkedip. Tak lama terdengar suara tawa meledak dari mulutnya. Terlihat begitu terhibur dengan ucapanku yang panjang lebar dan tanpa jeda.
"Kau menertawakanku?"
"Lihat wajahmu itu!" Ia menunjuk-nunjuk mukaku. "Kau terlihat begitu ketakutan. Kau bilang sering berteriak pada Ayahmu. Tapi sekarang, kau seperti bertekuk lutut pada ibuku. Kau begitu takut kehilanganku, ya?" Dia semakin tertawa.
"Kau pikir itu lucu, ha?" Aku bersungut. Setelah puas, ia menghentikan tawa. Lalu kembali memandangku.
"Kau tidak perlu khawatir. Uangnya masih ada padaku."
"Daryan?" Aku menatapnya heran. Kenapa dia melakukan itu? Bukankah dengan mengembalikannya, bisa menaikkan harga diriku di hadapan nyonya besar itu?
"Tulus atau tidak, ibuku juga tak akan peduli padamu.""Daryan!" Mataku membesar ke arahnya.
"Yang penting aku sudah tahu, kalau hargaku jauh lebih mahal dari seratus lima puluh juta... di matamu."
"Daryan...." Dia selalu saja berhasil membuatku merasa terharu.
~~~
Malam ini aku pulang berjalan kaki seperti biasa. Rasanya aneh. Akhir-akhir ini aku seperti merasa diikuti oleh seseorang. Sepanjang jalan aku terus berdoa dan membaca ayat apa pun yang aku hafal agar selamat dan tidak terjadi apa-apa.Kuharap aku salah, atau itu hanya bentuk paranoidku saja saking seringnya mendapat teror dari banyak lintah darat.
Sebagian dari mereka tak muncul lagi karena aku sudah melunasi. Dengan nominal di bawah lima juta pun sudah terasa sangat berat. Apa lagi hingga puluhan juta yang aku tak tahu sampai kapan bisa lunas.
Andai saat itu aku tak mengenal Daryan, harga diriku pasti akan berakhir di tangan pria hidung belang. Aneh, alih-alih memanfaatkan dan membeliku, dia lebih memilih menjual dirinya sendiri. Apa aku memang tak semenarik itu?
Sesampainya di tempat kos, aku langsung masuk dan mengunci pintu dengan rapat. Lalu mengintip dari balik tirai jendela. Aku menghela napas, merasa aman. Tak ada penampakan seperti perasaanku. Aku mengintip sekali lagi guna memastikan. Namun sekelabat bayangan baru saja berlalu dari balik pohon jambu yang ada di depan pagar.
Ya, Tuhan. Aku sedang tidak baik-baik saja.
~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAK ORANG KAYA
Romance"Keluargaku kaya raya. Harta mereka tak akan habis sampai tujuh turunan. Karyawan mereka juga mencapai ribuan. Dengan hanya menggunakan kartu-kartu yang diberikan, aku bisa membeli apa pun yang aku mau. Untuk apa lagi aku susah-susah bekerja?"