"Memangnya kau pikir aku suka?" Aku menantang ucapannya.
"Lalu kenapa kau kembalikan uang itu padaku?"
"Dia menolaknya. Dia pikir aku meminjam pada rentenir lain."
"Itu sama sekali bukan urusannya."
"Entahlah. Mungkin semacam persaingan bisnis," jawabku seadanya.
"Jangan bodoh. Pria itu menyukaimu. Kau tidak sadar?" Daryan memandangku kesal.
Aku menarik sudut bibir sembari mengusap sisa air mata.
"Memangnya kenapa kalau dia menyukaiku? Kau keberatan?" Aku berusaha memancing pengakuannya.
"Tentu saja aku keberatan."
"Kenapa?"
Dia terdiam. Tak langsung menjawab.
Katakan Daryan. Katakan kalau kau cemburu dan tidak rela aku dekat dengan pria mana pun.
"Kau masih bertanya? Pakai otakmu sedikit saja." Giginya merapat menahan geram. Aku kembali tersenyum.
"Carilah pria baik-baik. Jangan hanya memikirkan materi. Tak selamanya uang membawa kebahagiaan," imbuhnya lagi, menasihati.
Apa maksudnya ini? Kenapa dia malah menyuruhku mencari pria lain.
Pria baik-baik seperti apa yang dia maksud? Aku meyakinkan diri. Senyum yang tadi menghiasi bibir, hilang sudah bersama retakan hati.
"Kalau ada pria yang kau suka, beri tahu aku. Aku akan bantu menilainya. Tapi kalau rentenir itu, jelas aku tak suka."
Apa maksud Daryan mengatakan semua ini padaku. Tidakkah dia memilki perasaan itu? Lalu apa arti sikapnya selama ini. Tulus hanya ingin membantuku sebagai teman?
Omong kosong.
"Berikan nomor rekeningmu. Biar aku transfer. Kali ini kau tidak boleh menolak lagi pemberianku."
"Tidak mau!" ucapku ketus. "Kau tidak perlu lagi memikirkan hutang-hutangku. Biar kubayar dengan caraku." Aku memalingkan wajah.
"Cara apa lagi, ha? Kau selalu begitu." Dia tak mau mengalah.
"Begini saja. Bagaimana kalau sekarang giliran Ayahku. Aku akan pura-pura diculik, lalu meminta tebusan." Pria dengan kaos lengan panjang itu menambahi.
"Hentikan, Daryan. Aku tidak mau."
"Dengar dulu! Tugasmu hanya menghubunginya. Lalu...."
"Aku bilang hentikan." Aku merengek, menolak usulannya.
"Maya. Ayahku itu...."
"Aku bilang hentikan!" Aku mulai membentak.
Dia terdiam. Sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaanku. Yang dia ucapkan hanya ide gila baru yang membuat aku semakin terlihat tak berharga di matanya.
"Pulanglah, aku lelah." Aku membalikkan tubuh memunggunginya.
"Hei, kau yang memintaku datang, tapi sekarang kau mengusirku begitu saja. Dasar plin plan," ocehannya membuat dadaku terenyuh. "Sudahlah, kalau tidak mau. Ide itu memang terlalu berbahaya. Ayah dan Ibuku bisa saja melapor pada polisi." Dia tetap bersikap seperti biasa.
"Ah, bagaimana kalau...."
"Cukup, Daryan!" Aku kembali berbalik dan menantang matanya, mempertegas ucapanku. "Berhenti bertingkah seperti itu. Kau seperti orang gila."
Orang gila yang membuatku tergila-gila.
Kami kembali saling terdiam. Terdengar suara gerakan dari tubuhnya, dan kini dia sudah berada di hadapanku. Sebuah senyum kaku tersungging dari bibir manisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANAK ORANG KAYA
Romance"Keluargaku kaya raya. Harta mereka tak akan habis sampai tujuh turunan. Karyawan mereka juga mencapai ribuan. Dengan hanya menggunakan kartu-kartu yang diberikan, aku bisa membeli apa pun yang aku mau. Untuk apa lagi aku susah-susah bekerja?"