Part 4

48 2 0
                                    

Aku menyerah. Aku merasa lebih membutuhkan Daryan dari pada uang. Jujur saja, sejak mengenalnya aku jadi punya tempat untuk bercerita. Frustasiku juga kadang menghilang jika mendengar kisah-kisah konyolnya yang ternyata lebih gila dari aku. Entah itu nyata, atau hanya karangannya saja untuk membuatku tertawa.

Aku meremas amplop yang diberikan Ren tempo hari. Andai Daryan kembali, aku akan mengembalikan uang itu padanya. Tak peduli lagi pada hutang-hutang itu. Berapa lama pun waktunya, aku akan tetap membayarnya dengan keringatku sendiri.

Aku menyesali semuanya. Kenapa aku serendah itu, menerima tawarannya untuk menukar pertemanan kami dengan uang.

Kupikir semua hanya candaan saja. Tanpa kusadari kalau ibunya benar-benar membayarku untuk menjauhinya.

Aku juga menyesal sudah mengusirnya malam itu. Andai kubiarkan dia tinggal dan mengerti tentang masalahnya, tentu dia tak akan mengabaikanku seperti ini.

Aku bersalah. Keserakahan telah membutakan mataku. Menukar persahabatan ini hanya demi kepentinganku saja.

Sedari tadi aku sudah mencari-cari di mana keberadaannya. Menelusuri satu persatu foto di akun instagram miliknya. Tak ada satu pun petunjuk. Dia hanya berbagi foto saat sedang sendiri. Tak ada keluarga, atau logo perusahaan yang menjadikan mereka kaya raya.

Hari sudah malam. Seperti biasa aku menutup daganganku. Lalu kembali mengintip kembali akun instagramnya. Anak konglomerat memang lebih sering aktif di sana ketimbang akun facebook yang jadi kesukaanku. Dari sosial media saja pun perbedaan kami tampak mencolok.

Eh? Kebetulan sekali. Dia baru saja mengupload sebuah foto sepuluh detik yang lalu. Tapi dimana? Sebentar, sebentar. Bukankah ini....

Dengan cepat aku bersiap, lalu bergegas memesan ojek online. Menuju tempat dimana dia berada. Sedang apa dia di sana? Bersama siapa?

Aku tak peduli. Dengan pacar atau pun calon istri, yang penting aku bisa bertemu dengannya. Meski ada ibu dan keluarga lainnya di sana, akan kukatakan bahwa aku lebih butuh dia dibanding uang ini.

Aku berdoa, agar saat aku sampai nanti, dia masih tetap berada di tempatnya. Aku benar-benar berharap, kami masih bisa bertemu lagi.

"Bisa lebih cepat, Pak?" Aku memohon pada driver.

Aku sampai di depan Hotel berbintang lima. Sepertinya mereka melaksanakan acara di sana. Aku ingat sebulan yang lalu, Daryan pernah bercerita, bahwa kakak laki-lakinya akan melangsungkan pernikahan di gedung ini.

Aku celingak-celinguk mencari ball room tempat diadakannya resepsi mewah. Hingga kulihat tempat yang sama persis saat Daryan berfoto tadi. Sendiri. Ya, hanya sendiri. Tak ada sepasang pengantin maupun keluarganya.

"Maaf. Undangannya mana?" Seorang penjaga menahanku saat hendak memasuki area ruangan. Memandangi gaya berpakaianku dari atas hingga ke bawah.

"Aku mencari seseorang," ucapku, memohon.

"Tapi kau tetap tidak bisa masuk tanpa undangan."

"Tolonglah! Aku harus bertemu dengannya. Dia pemilik...."

"Biarkan saja!" Suara tengil itu tiba-tiba muncul dari arah belakang. Mataku berkaca-kaca saat menoleh ke arahnya. Perkiraanku salah. Dia tak ada di dalam. Entah apa yang dilakukannya di luar, saat acara berlangsung.

Jika bukan di tempat umum, aku pasti sudah menerkam dan memeluknya.

"Dia bersamaku." Daryan mengangguk pada pria dengan postur tubuh seperti tentara itu.

Daryan menoleh ke arahku, tanpa ekspresi. Setelan batiknya membuatku bingung bagaimana harus bersikap. Dia terlihat sangat gagah. Masihkah dia temanku yang seperti biasanya, atau kini dia malah marah dan ingin menjauhiku.

ANAK ORANG KAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang