Part 6

27 2 0
                                    

Dering ponsel berhasil memaksaku untuk membuka mata. Dengan malas aku meraba benda pipih itu dari sela-sela bantal. Mengucek mata agar pandangan tidak kabur.

Hari Minggu seperti ini aku memang meliburkan diri dengan aktifitas usaha. Selain ingin meluangkan waktu untuk beristirahat, omset pun jauh bekurang karena tak ada mahasiswa langgananku.

Aku mengamati layar ponsel yang menyala. Ada nama Adit sedang memanggil.

"Ada apa?" jawabku, dengan suara khas bangun tidur.

"Kak." Suaranya terdengar ragu.

"Apa?"

"itu...."

"Katakan saja."

"Motorku...."

*

Ah, shit!

Aku terus mengumpat sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung melepas helm berwarna hijau sekaligus membayar drivernya dengan terburu-buru.

Adit terduduk lemas di sofa ruang tamu saat aku masuk. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Berbanding terbalik denganku yang kini sedang naik darah.

"Mana Ayah?" cecarku, meletakkan tas dengan asal ke atas sofa. Adit menggeleng.

"Sudah hampir seminggu Ayah tidak pulang," jawabnya penuh ketakutan.

"Tidak kau hubungi?"

"Ponselnya juga tidak aktif."

"Kenapa baru bilang sekarang?" Aku mengentakkan kaki dengan kesal.

"Aku tak ingin membuat kakak cemas."

"Memangnya sekarang aku tak cemas?"

"Kupikir Ayah akan segera pulang."

"Berapa lama jatuh tempo yang diberikan?"

"Dua hari. Jika tidak...."

Sialan. Ayahku selalu saja berulah. Menggadaikan BPKB motor yang biasa dipakai Adit untuk sekolah. Sebuah pesan masuk ke nomor Adit. Mengatakan kalau pembayaran sudah jatuh tempo dan harus segera dilunasi.

Entah sejak kapan Ayahku meminjam uang. Surat kendaraan motor bebek Adit yang aku belikan pun, entah kapan hilangnya. Adit tak menyangka, atau mungkin lupa.

"Kau lalai!" bentakku. "Harusnya kau tahu bagaimana tingkah Ayah. Harusnya kau simpan dengan benar." Aku hampir menangis saking kesalnya.

"Maaf." Dia berucap penuh penyesalan.

Bagiamana tidak. Hanya dua hari saja aku harus melunasi uang yang dipinjam Ayah. Jika tidak, satu-satunya motor adikku akan diambil. Sedang kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Tapi aneh. Kenapa Ren tak mengatakan apapun soal hutang Ayah yang satu ini. Malah kini nomornya dialihkan ke Adit.

Brengsek! Kenapa semua keluargaku harus dia teror seperti ini.

"Sudahlah. Tak seharusnya aku marah-marah padamu," ucapku penuh sesal. Adit yang hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek itu hanya mengangguk.

Remaja bermata sipit itu tampak sangat terpukul. Setelah malaikat yang telah melahirkan kami tiada, akulah satu-satunya tempatnya mengadu. Selalu menurut dengan apapun yang aku ucapkan.

Selalu merasa cemas setiap kali aku bertengkar dengan Ayah. Andai aku egois, aku pasti akan membawanya pergi untuk tinggal bersamaku.

Namun hati nuraniku masih juga tak sampai hati membiarkan Ayah sendiri. Setidaknya ada Adit yang mengurus makan dan juga pakaiannya.

ANAK ORANG KAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang