01 | THE HOUSEHOLD

1.5K 298 39
                                    

"Saya pergi bukan karena ingin, melainkan karena saya tidak mau iblis di dalam saya menyakiti anak-anak yang saya kasihi."

Itu kalimat penutup dari video dokumenter yang mewawancarai seorang mantan pecandu kokain. Rupa wanita itu berkebalikan dari apa yang kuingat selama ini. Rambutnya kusut. Matanya layu. Dia sering menggaruk lengannya setiap beberapa detik sekali dengan kuku-kukunya yang panjang dan kotor. Wujudnya hampir tidak kukenali sama sekali.

"Bu Grace pernah menceritakan tentang anak-anaknya pada kami, tapi beliau tidak ingin videonya dipublish. Saya memberikan rekaman mentahnya pada anda setelah Bu Grace meninggal dunia di pusat rehab."

"Bagaimana anda menemukan saya?"

"Beliau yang memberikan identitas keluarga Lee secara sukarela. Jadi saya melacak anda lewat internet dan bertanya sana-sini. Siapa tahu anda ingin melihatnya untuk terakhir kali."

Seorang produser video dokumenter datang ke medical center tempatku bekerja untuk menunjukkanku rekaman Grace Hana, wanita di dalam video yang baru saja kutonton nyaris tanpa berkedip. Sekarang mataku amat panas. Kulepas kacamata yang seharian kupakai, lalu kupejamkan mata cukup lama.

"Anda baik-baik saja?"

Aku menggeleng. "Anda memilih hari amat buruk untuk menunjukkan video seorang ibu yang meninggalkan anak-anaknya demi narkoba." Aku baru selesai mengoperasi pasien ketiga hari ini dan sangat membutuhkan tidur ketika dia datang mencariku. Jika bukan karena kesabarannya menunggu selama lima jam, mungkin aku tidak akan repot-repot menemuinya.

Ketika aku membuka mata, dapat kulihat bahu produser itu merosot kecewa.

"Sekacau apapun Bu Grace, dia tetap ibu anda."

"Ya, saya tahu. Tapi mengakui dia sebagai ibu tidak akan mengubah masa lalu. Gara-gara dia pergi, keluarga kami berantakan." Kuhela napas berat yang kutahan-tahan selama ini. "Itu cerita lain. Jadi, ada lagi yang ingin anda tunjukkan?"

Produser itu mengeluarkan secarik foto lusuh yang terlipat dua. Dia meletakkannya di tengah-tengah meja, menungguku untuk membukanya sendiri. Melihat kondisinya, foto itu pasti sering dibawa ke mana-mana oleh seseorang. Akan mengejutkan jika gambar di baliknya masih utuh.

"Pusat rehab memberikan foto itu pada kami. Satu-satunya hal yang selalu ada di kantong Bu Grace selama beliau hidup."

Aku mengambilnya tanpa pikir panjang. Bukan karena penasaran. Aku hanya ingin memastikan bahwa dugaanku benar.

Seringaian kecil muncul di bibirku saat tahu kalau dugaanku memang selalu benar.

Itu foto enam belas tahun lalu. Ayah, ibu, aku, dan Sarah. Usia Sarah belum genap setahun dalam gendongan ayah, sedangkan aku di pelukan ibu. Kami nampak normal seperti keluarga lain. Malah bisa dibilang itu satu-satunya momen normal selama hidup kami sebelum ibu memutuskan jadi pecandu, lalu ayah bunuh diri karena patah hati ditinggalkan.

"Bu Grace pernah bilang ke saya kalau foto itu diambil pada hari ulang tahun anda."

"Saya tidak ingat," gumamku.

"Ini tempat beliau dimakamkan. Kalau-kalau anda ingin berkunjung bersama Sarah." Dia mengulurkan secarik kertas yang berisi alamat. "Dan ini kartu nama saya." Sebuah kartu nama sederhana menyusul kemudian.

"Untuk apa?"

"I don't know. Just in case." Dia mengedikkan bahu. "Pusat rehab juga ingin tahu apakah anda akan mengambil barang-barang Bu Grace?"

Aku mengangguk. "Terima kasih sudah repot-repot datang kemari."

Kalimatku membuatnya tersenyum. "Ini tugas saya. Ngomong-ngomong, apakah anda seorang spesialis?"

The Girl Who Can Walk To The Other Side (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang