07 | THE DOOR

555 188 48
                                    

Inilah sebabnya produser itu seolah mendesakku agar segera pergi ke pusat rehab. Mereka ingin membebankan tanggung jawab ini pada keluarga Grace Hana. Dikejar-kejar kewajiban membayar biaya untuk orang yang sudah meninggal tentu merupakan tanggungan. Jika aku jadi mereka, aku juga akan melakukan hal yang sama.

"Kami nggak akan membayar," cetusku kemudian. Aku tidak menyentuh lembaran tagihan itu sama sekali. Raut si petugas langsung masam saat mendengarku bicara. "Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Semuanya ditanggung pemerintah."

"Memang benar. Tapi jika rehabilitasinya dilakukan di lembaga atau institusi swasta seperti kami, maka tetap diwajibkan membayar."

"Oleh sebab itu, saya merasa kalau yang anda lakukan ini termasuk pemerasan." Aku melihat sekeliling. "Tempat ini bahkan nggak memenuhi persyaratan sebagai panti rehabilitasi. Mengapa kami harus membayar biaya sebesar ini untuk fasilitas seburuk ini? Lalu, bagaimana kami bisa yakin kalau meninggalnya Bu Grace bukan dikarenakan keteledoran, apalagi... kesengajaan oleh pihak anda?"

"Anda menuduh kami?"

Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Saya cuma ingin memastikan. Jika ucapan saya kalian anggap sebagai fitnah atau salah satu upaya pencemaran nama baik, kita bisa melanjutkan ini ke pengadilan."

Kunjungan kami hari itu berujung nihil. Pihak institusi tetap ingin kami membayar kalau mau semua barang Grace Hana dikembalikan ke pihak keluarga. Sebagai orang yang rasional, nilai itu tidak sepadan. Jika mereka ingin menyimpannya, ya simpan saja. Aku tidak sudi memberi mereka uang sepeser pun. Sayangnya, keputusanku ini ditentang oleh Sarah.

"Kamu keterlaluan!" dumelnya saat kami sedang menunggu taksi menjemput di depan lobi. Aku tidak mengerti alasan dia semarah itu.

"Nilai barang-barang itu nggak akan sebanding dengan uang yang kita keluarkan, Sarah."

"Tapi itu peninggalan Mom! Barang terakhir yang Mom miliki sebelum meninggal!" Dia setengah membentakku.

"Kalau barang yang kamu maksud itu hanya baju compang-camping yang nggak pernah dicuci dan rongsokan lain, biarkan saja mereka menyimpannya! Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk beli mobil!"

Dia justru terkesiap. "Kamu menilai Mom dengan mobil?" tanyanya tak percaya.

Meski bukan itu maksudku, aku tetap tidak menyahut.

"Aku ingin menyimpan barang-barang itu untuk kenang-kenangan." Dia kembali berujar.

"Memangnya kamu punya uang?"

"Aku pinjam dulu." Dengkusanku tak dapat disembunyikan. "Kalau sudah dewasa dan bisa cari uang sendiri, nanti kucicil. Sumpah!" lanjutnya.

Kepalaku menggeleng pelan. "Kamu terlalu muda untuk mengerti kalau mencari uang itu nggak gampang, Sarah. Mau sekaya apapun kamu, mengelola keuangan juga harus bijak."

"Tapi kamu dokter! Dokter uangnya banyak! Kamu bisa menyekolahkanku ke Cavalrie yang terkenal paling mahal di negara ini!"

"Aku menyekolahkanmu ke sana bukan karena aku kebanyakan uang. Tempat itu punya pintu-pintu yang aman untuk kamu masuki. Cuma di sana kamu bisa hidup dengan normal. Dan lagi, siapa bilang jadi dokter uangnya banyak? Aku harus membayar utang pendidikanku ke bank. Cicilan rumah belum lunas. Mobil harus dibeli." Lagi-lagi aku teringat mobilku yang bernasib nahas. "Kamu mengataiku terus gara-gara punya mobil rongsok!"

Dia cemberut.

"Nggak semuanya harus sejalan dengan maumu," imbuhku.

"Akan kucari jalan lain," gumamnya penuh tekad.

The Girl Who Can Walk To The Other Side (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang