22

5.5K 944 83
                                    

Ini kali pertama, Ditya ngeliat orang berantem tepat di depan mata.

... Bukan. Bukan berantem.

Ini ... kekerasan dalam rumah tangga?

"... K-kak."

Darah yang netes dari pelipis dan hidung, jatuh ngotorin lantai. Manik cokelat milik kakaknya, tatap dia dengan tajam.

"Masuk ke kamar. Kunci pintunya."

Walau dengan luka di wajah, suara Yudha ngga gentar sama sekali. Ditya mundur. Terus lari. Nurutin perkataan Yudha. Masuk ke dalam kamar dan kunci pintunya dari dalam. Hpnya dia cari mati-matian. Pas ketemu, langsung nelfon ke nomor Angga yang lagi di luar.

Jantungnya berdebar-debar. Dia jongkok di sudut dekat ranjang dan tatap pintu kamar dengan takut.

"Iya, dek?"

"Bang," Suara Ditya gemetar, "Bang, Papa pukul Kak Yudha."

Padahal, Ditya cuma pengen laluin minggu ini dengan tenang. Yudha juga bilang kalo seminggu itu waktu yang singkat. Singkat banget sampe hari Senin rasanya kayak sebelahan. Habis Senin udah Senin lagi. Jadi, pas Angga bilang orang tua mereka pulang, dan bakal stay selama seminggu, Yudha ngga mikir macam-macam. Karena paling, tau-tau mereka udah pergi lagi aja. Dia juga bilang gitu ke Ditya.

Rencananya, mereka bakal keluar terus seminggu ini. Ditya ngerasa makin tenang. Seenggaknya, dia bareng Yudha. Kakaknya yang itu tau seberapa ngga sukanya Ditya sama kerumunan. Jadi, tempat-tempat yang bakal dipilih pasti yang agak sepi, atau yang bakal bikin Ditya tenang walau rame orang, kayak main boardgame beberapa waktu lalu.

Sampe hari keempat, mereka lancar terus main keluar. Kemudian, kemarin, Angga jemput paksa mereka biar ngga keluyuran kemana-mana dan makan malem bareng. Terus sekarang, ketika Angga memang lagi ada acara sama temennya, Yudha sama Ditya pulang, orang tua mereka udah nungguin.

Mereka bertiga punya orang tua yang sama. Tapi, perasaan yang tiga saudara ini simpan beneran beda ke dua orang itu. Ditya ngerasa lebih segan dan ngga tau harus memperlakukan mereka kayak gimana, terus Angga yang simpen rasa ngga suka ke mereka karena udah telantarin adek-adeknya. Tapi, beda dari dua saudaranya yang lain, Yudha udah ngga ngerasa apa-apa. Sejak dia mulai lupa sama muka orang tuanya, Yudha tau, hubungan mereka cuma sebatas antar orang asing yang berkedok nama 'keluarga'.

Jadi, mau mereka ngapain pun, Yudha ngga peduli.

Tapi, kalo dua orang ini mulai ngusik saudaranya, itu lain cerita.

Dia sama Ditya baru pulang. Awalnya diajak ngobrol baik-baik. Yudha fine-fine aja. Tapi, lama kelamaan, ketika perkataan mereka mulai memojokkan, Yudha tau ada yang ngga beres.

Pas semua aspek kehidupan mereka mulai dikomentarin. Terus dijatuhkan. Diminta untuk ngelakuin hal-hal yang mereka ngga mau, dan keluar kalimat tameng;

"Orang tua tuh tau yang terbaik untuk anaknya apa."

Bikin Yudha mikir, sejak kapan coba mereka berperan jadi orang tua?

Terus perkataannya juga makin kemana-mana.

"Makan aja masih pake uang orang tua. Tinggal masih di sini. Kalo udah bisa urus diri sendiri, ya terserah. Tapi, selama masih numpang sama kami, jangan macam-macam."

Yudha sadar, mereka kayak gini juga karena ngga ada Angga. Kalo Angga di sini, pasti mereka udah berantem dari tadi.

Dan ketika nama Ditya mulai dibawa-bawa, Yudha tau, udah saatnya dia buka suara.

Dia sebel. Dia emosi. Terus-terusan ngebantah semua perkataan dua orang itu. Panas di dada sebab amarah yang harus ditekan. Kepala puter otak pengen ngelakuin sesuatu yang ngebikin orang tuanya makin ngga tenang.

Terus, satu ide muncul.

"Aku gay."

Dan itu adalah penyebab jam tangan berat milik Papa mereka melayang sampe kena pelipis Yudha. Pas darah ngalir sampe netes dari dagu, Yudha ketawa.

Jadi, sisi asli orang tua mereka begini.

Okay.

Yudha cukup tau aja.

Pas tindakan Papa mereka mulai menjadi, di situ dia suruh Ditya untuk pergi. Adeknya ngga perlu ngeliat hal-hal kek gini. Dan dia sendiri cukup puas berhasil ngebikin murka orang tuanya. Cuma karena dua kata yang sebenernya ngga ada arti untuk Yudha.

Tapi, untuk orang-orang kayak orang tua ini, dia beneran gay atau bukan, ngga bakal ada yang berubah. Karena mereka udah punya kecenderungan perilaku abusive. Cepat atau lambat, pasti bakal kejadian hal kek gini. Yudha cuma bikin semuanya terjadi lebih cepat aja.

Begitu Angga sampe di apart mereka, habis nyetir ugal-ugalan karena khawatir sama adek-adeknya, Yudha udah ngga ada di sana. Beberapa bercak darah yang masih ngotorin lantai, ngebikin emosi Angga naik.

Dia ngga peduliin orang tuanya yang masih di puncak emosi juga. Masuk ke dalam, buat periksa kamar Yudha, siapa tau adeknya masih di situ. Begitu pastiin ruangan itu kosong, dia ketuk kamar Ditya.

"Dek, ini Abang!"

Si bungsu keluar. Raut takutnya belum hilang. Angga tarik cepat adeknya dan dia bawa keluar dari sana.

"ANGGA!"

Nge-abaikan seruan dari orang tuanya, pintu apartemen langsung dia tutup. Krishna yang ngikutin dia karena takut ada apa-apa cuma berdiri di luar pintu apart dari tadi. Ngga masuk karena ngga mau ikut campur urusan keluarga temennya ini.

"Yudha pergi," ujar Angga. Masuk ke dalam lift untuk turun ke bawah.

"Kita mencar aja buat nyariin Yudha," balas Krishna. Ngelirik wajah temennya yang agak pucat, terus ke arah Ditya yang ngga jauh beda.

"Ntar tinggal saling kasi kabar kalo udah ketemu."

Wajahnya Angga usap frustrasi. Dia ngangguk, "Gue minta tolong."

Yang dibalas dengan tepukan di pundak.

Pake mobil masing-masing, mereka mencar. Cariin tiap sudut jalan. Krishna nyoba nelfon Yudha. Tapi, ponselnya ngga aktif. Pegang kemudi dengan erat. Berusaha untuk ngga panik karena panik ngga ngebantu apa-apa.

Terus, satu nama tempat muncul di kepalanya. Mastiin di belakang ngga ada kendaraan lain, setir mobil langsung diputar cepat. Bawa mobilnya ke satu tempat yang dia rasa, Yudha bakalan ke sana. Buru-buru parkirin mobil, dan langsung keluar. Krishna lari kecil masukin bangunan itu.

Beli tiket dengan tergesa, dan masuk ke dalam. Di sana udah mulai sepi karena tempat kunjungan tersebut bentar lagi tutup. Kedua mata yang dibingkai kacamata, nyariin sosok Yudha dengan teliti. Kelilingin tempat itu pelan-pelan. Terus, dia berhenti. Nemuin satu-satunya orang yang ada di section ubur-ubur. Walau penerangan yang kurang, dia tau benar itu Yudha. Berdiri di depan kaca yang ngeluarin sinar biru lembut dan mantul di wajahnya.

Yudha noleh. Tatap keberadaan Krishna dengan datar. Beberapa bagian wajahnya memar. Juga, baju di pergelangan tangan yang kotor karena darah. Terus ngalihin kedua matanya ke depan lagi.

Krishna nelan ludah. Normalin napasnya lebih dulu. Dua kakinya melangkah pelan. Deketin Yudha yang ngga gerak dari sana. Satu tangan, ngeraih jemari anak itu.

"Ayo pulang. Angga sama Ditya nyariin."

FIGURANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang