"Kamu kok ke sini Nisa? Gimana Abyan?"Zahira terlihat khawatir, ia hanya tak ingin cucunya tak ada yang mengurus dengan baik.
"Baik-baik saja kok Ummi, sehat, hanya aku kangen rumah, kangen kamarku."
Zahira mengelus punggung anak keduanya. Terkadang ada rasa menyesal telah memaksa Nisa untuk menikah dengan Hikam karena ia bisa merasakan bahasa tubuh keduanya yang memang tak bisa dikatakan sebagai keluarga utuh yang normal, juga dari tatapan mata Nisa yang bercerita banyak bahwa rumah tangga anaknya tidak baik-baik saja.
"Maafkan Ummi, Nisa, Ummi berpikir dengan berjalannya waktu Hikam akan bisa melupakan Ais dan bisa mencintai kamu, Ummi yakin, pernikahan kalian tidak baik-baik saja kan?"
Nisa berusaha tersenyum, ia membuka tudung saji di meja makan dan melihat pisang rebus juga singkong goreng lalu mengambil singkong, mulai mengunyah pelan.
"Nisa ke sini tidak ingin membahas itu Ummi, ingin tidur di kamar Nisa meski sebentar." Nisa lagi-lagi mengigit singkong lalu mengunyah lagi. Tapi Zahira dapat melihat jika mata anaknya menyimpan luka.
"Bersabarlah Nisa ini baru enam bulan pasti akan ada perubahan setelahnya."
"Aku nggak berharap banyak Ummi, kami seperti dua orang asing, meski tidur sekamar tapi tanpa sentuhan, tiap kali tak sengaja tersentuh, kami sama-sama kaget dan aku malu untuk memulai, takut ditolak, malu kan Ummi kalo wanita mulai duluan?"
Baru kali ini Nisa terbuka dan Zahira kaget.
"Maksudmu? Sampai saat ini kamu masih ..."
"Yah."
"Ya Allah, Nisaaa ..."
.
.
.Siang hari Hikam menyempatkan pulang dan ia kaget saat tahu dari pembantunya jika Annisa belum pulang.
"Tak biasanya Dik Nisa tidak pulang sampai siang kayak gini Bi?"
Hikam melihat pembantunya yang menyiapkan makan siang untuknya.
"Tidak apa-apa Pak, toh putra Bapak, tidur nyenyak hanya tadi sempat bangun dan saya beri susu lalu tidur lagi, mungkin Ibu ingin beristirahat di rumahnya karena Ibu kan sakit Pak."
Hikam terlihat kaget, ia sama sekali tak tahu jika Nisa sakit, dan ia menyesal tak peka pada kondisi istrinya.
"Sakit? Sejak kapan? Sakit apa?"
"Sudah dua hari ini Pak, Ibu bilang asam lambungnya kambuh, Ibu memang terlihat sulit makan, apa lagi akhir-akhir ini jarang makan siang, terlihat sering melamun juga, hanya jika dengan putra Bapak, Ibu Nisa bisa tersenyum."
Hikam semakin merasa bersalah, selama enam bulan jadi suami Nisa ia tak tahu jika istrinya punya penyakit yang cukup berat.
"Dia tak pernah bercerita padaku Bi."
"Saya juga tahunya tak sengaja saat Ibu minum obat dengan wajah pucat."
"Bi, aku mau menjemput Dik Nisa saja, nggak jadi makan."
Baru saja Hikam hendak menuju pintu, ponselnya berdering nyaring, ia lihat ponselnya terlihat nama Nisa di sana.
"Ya Dik Nisa?"
"Ini Ummi Nak Hikam, Nisa ada di rumah sakit, tadi sempat sesak napas tadi terpaksa Ibu bawa ke rumah sakit."
Alangkah terkejutnya Hikam, ia terlihat panik dan khawatir.
"Iya iya Ummi saya akan segera ke sana, rumah sakit mana Ummi?"
Terlihat Hikam mengangguk-angguk dan bergegas menuju mobilnya.
.
.
.Sesampainya di rumah sakit Hikam segera menuju IRD, ia melihat Nisa yang memejamkan mata dibantu alat pernapasan. Bapak dan ibu mertua Hikam terlihat khawatir.
"Sudah lama Nisa tidak begini Nak Hikam, entah kenapa tadi saya ditelepon umminya jika Nisa perlu dibawa ka rumah sakit."
Ibrahim memberi ruang pada menantunya untuk bergerak mendekati putrinya yang masih saja terpejam.
"Tapi in shaa Allah jika kondisi Nisa mendingan nggak sampai rawat inap." Zahira berusaha menenangkan Hikam yang terlihat khawatir
"Iya Ummi, tapi saya ingat Abah saya pernah masuk ICU karena asam lambungnya sampai mengganggu jantung Abah, makanya saya kaget jika Nisa juga punya penyakit asam lambung, ini penyakit yang cukup berbahaya Ummi, maafkan saya yang tidak tahu jika Dik Nisa punya penyakit seperti ini."
"Tidak apa-apa kami mengerti kesibukan Nak Hikam hanya kami ingin anak kami mendapat perhatian lebih, ia istri Nak Hikam bukan hanya untuk merawat Abyan saja, seharian ia di rumah terbayang lelah dan bosannya, saya saja yang sudah paruh baya masih mencari kesibukan dengan buka warung kebutuhan sehari-hari tak terbayang Nisa yang aktif berorganisasi saat kuliah lalu sejak menikah dia di rumah saja, kami tak menuntut apapun Nak Hikam hanya kondisi emosi istri perlu dijaga agar semuanya baik-baik saja."
Hikam mengangguk pelan, ia pandangi wajah lelah Nisa yang masih terpejam, tangannya terulur ke kening Nisa dan mengusapnya pelan.
"Nak Hikam di sini dulu ya, tolong jaga Nisa kami hendak pulang sebentar, hubungi kami jika ada apa-apa."
"Baik Ummi, Abah, silakan."
.
.
."Sudah enakan Dik?"
Suara Hikam terdengar saat Nisa sudah sampai di rumahnya lagi. Ia membantu Nisa merebahkan badan dan menyelimuti badan Nisa.
"Nggak papa Kok Kak, aku udah biasa begini, nanti juga baik-baik saja."
"Ini penyakit sering dianggap remeh tapi saat Abahku masuk ICU hanya karena asam lambung aku jadi tahu bahayanya penyakit ini, kamu nggak usah mikir aneh-aneh Dik."
"Aku hanya mikir Kakak."
Hikam terdiam seketika.
"Apa yang harus aku lakukan untuk kamu agar kamu nggak sakit Dik."
"Aku nggak bisa maksa Kakak untuk melakukan apapun karena aku nggak tahu isi hati Kakak."
Hikam duduk di samping kasur, ia genggam tangan Nisa.
"Beri aku waktu Dik, aku mulai nyaman ada kamu di rumah ini, hanya untuk yang satu itu aku masih berusaha untuk bisa."
"Aku nggak nuntut macam-macam paling tidak Kakak tahu jika aku manusia yang juga butuh diperhatikan."
"Maafkan aku."
"Sudah aku maafkan sejak lama."
"Maaf tadi di rumah sakit itu siapa, laki-laki sok akrab? Saat kita akan meninggalkan rumah sakit kok sempat-sempatnya dia kasi Dik Nisa macam-macam makanan."
"Oh dia sepupuku, Mas Didit namanya, dokter di rumah sakit itu, Alhamdulillah ada dia yang tanggap tadi saat awal aku tiba di IRD, dia ngasi makanan biar aku mau makan."
"Tapi kan tahu jika kamu sudah menikah? Pastilah suami kamu akan bertanggung jawab pada apa yang kamu makan!"
"Ya tahu meski dia nggak hadir saat kita nikah."
"Sudah nikah dia?"
"Belum."
"Nah apalagi."
"Selama enam bulan kita nikah kan dia nggak dekat-dekat kau meski sebenarnya sudah lama dia bilang ingin menikahi aku hanya abah dan ummi lebih memilih Kakak karena kasihan Abyan."
Hikam menatap tajam wajah Nisa yang kembali memejamkan mata.
"Dik."
"Hmmmm."
"Aku nggak mau kamu ke rumah sakit itu lagi kalo ada apa-apa."
Nisa akhirnya membuka matanya lagi.
"Mas masih peduli sama aku? Toh Mas juga nggak pernah menganggap aku ada, jika Mas Didit memberi perhatian apa itu salah?"
"Ya salah karena kamu istriku!"
💗💗💗
2 April 2022 (06.13)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dik Nisa, I Love You (Sudah Terbit)
RomanceCover by @Hendzsadewa Menjadi ibu sambung bagi keponakannya sendiri tak pernah terpikirkan oleh Annisa. kecelakaan yang menimpa kakak dan iparnya hingga mengakibatkan kakaknya meninggal membuat ia menerima permintaan orang tuanya untuk menikah denga...