4

1K 256 27
                                    


Nisa bergerak pelan, membuka matanya dan menyadari jika lengan Hikam memeluk pinggangnya, dengan hati-hati Nisa mengangkat lengan Hikam agar lepas dari pinggangnya namun yang terjadi Hikam terbangun.

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-napa hanya ingin ke kamar mandi."

"Aku antarkan, kau masih lemah, khawatir kenapa-napa di kamar mandi."

Wajah Nisa memerah rasanya tak mungkin Hikam akan menungguinya di dalam kamar mandi, meski mereka suami istri tapi mereka belum pernah seperti itu sebelumnya.

"Nggak usah melamun, aku ayo bantu."

Dan Nisa digendong Hikam ke kamar mandi dan mendudukkannya di closed.

"Aku bantu kamu berdiri dan membukakan celana dalammu."

"Nggak, Mas nunggu di luar aja nanti aku panggil kalo sudah."

"Diiiik wajah kamu masih pucat, kalo ada apa-apa gimana, udahlah buka, aku nggak akan lihat."

Begitu selesai merebahkan lagi Nisa di kasur Hikam menaikkan selimut hingga ke dada Nisa.

"Mas kok aku ditidurkan lagi sih, aku mau bangun."

"Loh ini masih jam 03.00 dini hari."

"Aku mau nyiapkan sahur untuk Mas."

"Udah disiapin sama si bibi, udah nggak usah."

"Nggak, pokoknya aku mau bangun meski cuman nungguin Mas sahur."

Hikam terdiam, ia merasa jika Nisa berusaha untuk selalu menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, akhirnya Hikam membantu Nisa bangun dan menuntun menuju ruang makan. Sesampainya di sana Bi Siti kaget melihat Nisa juga ikut duduk di ruang makan.

"Ibu ikut puasa besok? Kan Ibu masih sakit?"

"Nggak Bi, hanya menemani Mas Hikam, masa sahur makan sendiri?"

"Ah Ibu selalu perhatian sama Bapak."

"Namanya istri Bi, kata Ummi kita nggak tahu umur kita sampai kapan, selagi bisa ya melayani suami sebaik mungkin."

"Iya iya betul Bu."

Dan Hikam semakin merasa tertampar, sampai saat ini ia belum menjalankan kewajibannya sebagai suami dengan benar.

.
.
.

Lagi-lagi kiriman bermacam-macam datang ke rumah Nisa, kali ini lewat ojek online, saat hampir berbuka Hikam pulang, ia menemukan bermacam-macam kue kiriman Didit untuk Nisa.

"Bi, ini siapa yang ngirim?"

"Oh, ojol Pak, tadi Ibu tidak membolehkan saya bawa masuk ke ruang makan jadi ya dibiarkan di ruang tamu sampai Bapak pulang, Ibu nunggu ijin Bapak katanya."

"Baguslah, makanan ini untuk Bi Siti dan pembantu yang lain, satpam depan jadi juga buat buka, udah bawa ke belakang sana Bi."

"Baik Pak."

.
.
.

Sesampainya di kamar Hikam tak menemukan istrinya, ia segera menuju kamar Abyan dan ternyata benar Nisa mengusap-usap bokong Abyan dan menemaninya tidur. Nisa menoleh saat terdengar langkah pelan dan tersenyum pada Hikam yang juga membalas senyum Nisa meski seperti biasa, senyum yang tak bisa lepas, hanya menarik sedikit bibirnya.

"Bentar lagi buka, udah siap kok Kak, aku besok puasa."

"Udah sehat ta?"

"Sudah, tadi Mas Didit bilang boleh saat ditanya-tanya gimana perkembangannya."

Wajah Hikam langsung berubah mendengar nama Didit disebut.

"Maaf Dik, bisa nggak kamu nggak usah terlalu sering nerima telepon dari dia? Dia jelas-jelas suka sama kamu, itu kirim makanan sampe banyak, kan aku jadi gimana?"

Nisa bangkit dan berjalan pelan mendekati Hikam.

"Baik, aku nggak akan menghubungi Mas Didit lagi tapi bukan berarti aku akan memutus tali silaturahim dengan dia karena dia masih keluarga aku juga, lalu makanan itu silakan Kakak sedekahkan ke siapa, aku istri Kakak, akan patuh pada Kakak tapi tolong Kakak juga harus ingat bahwa sebagai istri Kakak aku juga butuh Kakak sebagai suami."

"Aku kan sudah bilang Dik, aku janji untuk lebih perhatian sama kamu, ini aku sedang berusaha untuk berubah, kamu sudah jadi istri yang baik untuk aku, jadi aku juga akan jadi suami yang baik untuk kamu."

"Aamiiiiiin."

.
.
.

Orang tua Hikam akhirnya sampai juga di rumah Hikam dan meminta maaf pada Nisa karena baru sempat.

"Nggak papa Ummi, Abah, saya sudah sembuh kok hanya ya jaga pola makan terutama pikiran juga."

Orang tua Hikam saling pandang, hingga Zilda mulai berbicara.

"Hikam sejak kecil berbeda dengan Zaid yang mudah bergaul, anak itu tertutup, pemalu, sulit bergaul dia, makanya saat akhirnya dia bisa dengan mudah menerima Aisyah untuk menjadi istrinya setelah ta'aruf kami sangat bahagia hanya nasib berkata lain, lalu Alhamdulillah juga akhirnya dia mau menerima kamu, Annisa untuk menjadi ibu sambung bagi Abyan, hanya mungkin perlu waktu lagi bagi dia untuk menyesuaikan diri dengan kamu, kami minta maaf jika dia belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu."

"Saya berusaha untuk selalu bersabar Ummi, Abah, karena dia masih saja ingat Kakak saya, ada rasa saya diabaikan padahal sudah enam bulan menjadi istrinya, tapi beberapa hari ini ia berjanji untuk lebih memperhatikan saya dan menjalankan kewajibannya sebagai suami dengan baik."

Zilda dan Ibad terlihat lega.

"Alhamdulillah, kami senang mendengarnya Nisa, dan berharap kamu segera hamil."

Nisa tercekat mendengar ucapan Zilda, ia hanya mengangguk pelan.

"Sebentar lagi Kak Hikam datang, berbuka di sini ya Abah, Ummi?"

.
.
.

Keesokan harinya Zilda dan Ibad mendatangi kantor anaknya, keduanya memang sekali-sekali datang untuk melihat perusahaan yang mereka besarkan. Mereka masuk ke ruangan Zaid terlebih dahulu di sana Zaid terlihat sibuk namun segera bangkit saat melihat kedua orang tuanya, lalu mencium punggung tangan keduanya dengan takzim. Lalu duduk di sofa yang ada di ruangan Zaid.

"Silakan duduk, Abah, Ummi."

"Kau sudah mendengar jika Nisa sakit?"

"Iya sudah, aku dan istriku belum sempat ke sana, mungkin besok."

"Aku melihat Nisa itu istri yang baik, sama dengan kakaknya tapi dia terlihat tidak bahagia, paling karena Hikam yang terlalu pendiam." Ibad menatap Zaid yang menggeleng pelan.

"Banyak hal yang membuat istri Hikam tak bahagia, kalau pendiam tak masalah yang penting care sama istri, eh ini masih ingat terus sama almarhumah."

Ibad dan Zilda terlihat kaget.

"Hikam tak pernah cerita padaku Zaid." Zilda terlihat khawatir.

"Aku yang selalu bertanya padanya karena aku melihat sinar kelelahan pada mata istri Hikam saat beberapa kali bertemu jika aku ada perlu ke rumah Hikam, dia dzolim pada istrinya, istrinya hanya dijadikan penjaga anaknya, tapi dia tak ada timbal balik sama sekali, aku tahu jika dia sulit melupakan almarhumah istrinya tapi melalaikan kewajibannya pada istrinya yang sekarang itu salah besar."

"Ini tidak benar, akan Ummi dudukkan dia, tapi maaf apa karena lelah pikirkan juga ya si Nisa belum juga hamil?"

Lagi-lagi Zaid menghela napas berat.

"Gimana mau hamil kalo mereka nggak pernah kumpul?"

"Ya Allah, Hikaaam! kok bisaaa?" Zilda menutup mulutnya karena kaget. "Siapa itu yang bilang, Zaid? Hikam?"

"Ya Hikam sendirilah, masa tetangga sebelah."

🌾🌾🌾

4 April 2022 (09.25)

Dik Nisa, I Love You (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang