1

1.2K 268 28
                                    


"Kamu tahu jika kamu dzolim pada istrimu?" Zaid, kakak Hikam menatap wajah adiknya yang terlihat ekspresinya berubah-ubah, kadang murung, kadang tanpa ekspresi.

"Aku tahu."

"Selalu begitu jawabmu dan kau mengulanginya berkali-kali, ini sudah enam bulan lebih kalian menikah dan kau tak juga lupa pada almarhumah istrimu, bukankah lebih baik kau tak menuruti permintaan Abah dan ummi untuk menikahi Annisa, gadis itu punya masa depan yang bagus tapi ia mau menikah denganmu demi Abyan, dia mahasiswa cerdas yang lulus cumlaude, tertahan tidak melanjutkan ke S-2 hanya karena kamu eh ternyata kamu sia-siakan, ingat pesanku jangan sampai kau menyesal dan ia pergi dari sisi kamu."

"Nggak akan Bang, dia sayang banget sama Abyan, dia nggak akan pergi dari sisiku, dia wanita patuh yang tidak akan meninggalkanku hanya karena bosan dan jenuh."

"Itu kan menurutmu."

"Abang nggak tahu apa yang aku rasa, gimana rasa bersalahku pada Dik Ais, aku yang menyebabkan ia meninggal."

"Kau percaya takdir kan? Kau masih percaya Allah kan?"

"Baaang, Abang nggak ngalamin kayak aku, dan semoga jangan, aku bukan nggak percaya takdir tapi aku melihat istriku meregang nyawa di depanku, di depan mataku, itu siksaan bagi aku, aku perantara dia meninggal, aku penyebabnya."

"Kau harus belajar lagi ternyata, perlu ngaji lagi pada Abah, agar pikiranmu nggak sesat."

Hikam terlihat menahan marah, ia tahu abangnya sayang padanya, tapi kadang gaya bicara abangnya yang ceplas-ceplos sering lupa jika ia belum bisa melupakan istrinya yang sudah meninggal.

"Aku kembali ke ruangku dulu Bang."

Zaid menatap punggung adiknya menjauh sambil mendengkus karena kesal. Zaid dan Hikam, dua bersaudara yang mengelola perusahaan keluarga, bergerak diberbagai macam usaha, ada biro perjalanan ibadah haji dan umroh, juga beberapa swalayan yang menawarkan bermacam-macam oleh-oleh saat pulang dari ibadah haji dan umroh, juga beberapa penginapan dengan gaya homestay. Orang tua mereka H. Ibadillah Zawawi adalah pengusaha sukses yang setahun ini mulai mengurangi aktivitasnya dan mulai memberikan kuasa penuh pada dua anak laki-lakinya, dan beberapa bulan ini mereka berusaha menyembuhkan luka anak keduanya yang kehilangan istri dengan cara menyedihkan, beruntung adik dari Aisyah mau menjadi ibu sambung bagi Abyan, bayi laki-laki yang bisa diselamatkan saat ibunya meregang nyawa. Selang tiga bulan mertua Hikam ingin agar Annisa ikut mengasuh keponakannya dan ternyata bayi laki-laki itu betul-betul nyaman berada dalam asuhan Nisa hingga orang tua keduanya sepakat menikahkan Hikam dan Nisa. Namun setelah enam bulan berselang setelah pernikahan berlangsung, Hikam tetap menjadi laki-laki yang menganggap meninggalnya Ais adalah kesalahannya hingga ia tak bisa menerima Nisa seutuhnya.

Sedang Nisa berusaha menjadi istri yang baik bagi Hikam dan ibu yang hangat Bangi Abyan. Meski ia sering menangis sendiri karena suaminya tidak pernah melihat dia sebagai seorang istri, meski semua cara telah ia lakukan. Kini di bulan keenam Nisa mulai merasakan jenuh. Ia mulai menampakkan wajah lelah dan marah, hanya tiap kali melihat Abyan hatinya selalu luluh. Meski kadang ia merasa iri melihat temannya yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, namun rasa itu bisa ia pendam sedalam mungkin demi pengabdian pada suami dan orang tuanya.

.
.
.

Hikam baru saja pulang dari kantor, ia melihat Nisa yang berbicara dengan salah satu pembantu yang ada di rumah besar itu sambil menggendong Abyan, terlihat wanita belia itu menepuk-nepuk bokong Abyan sambil menggoyangkan badannya dengan pelan, saat sadar Hikam datang, Nisa bergerak pelan ke kamar Abyan dan menidurkan bayi laki-laki lucu itu, lalu bergegas masuk ke kamar Hikam.

"Mas akan disiapkan makan malam?"

"Nggak, tadi aku sudah makan sama Bang Zaid."

"Oh." Dan Nisa berbalik ke luar kamar.

"Dik."

Nisa menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya, menatap laki-laki yang selama enam bulan ini telah ia lihat setiap hari dan entah mengapa ia merasakan jantungnya mulai tidak baik-baik saja.

"Ya."

"Kamu tersiksa selama enam bulan ini?"

"Awalnya nggak."

"Lalu?"

"Saat Kakak tak juga melihat aku sebagai Nisa itu yang bikin aku sedih, bahkan beberapa kali salah panggil namaku dengan memanggil nama Kak Ais itu yang bikin aku gak nyaman, aku nggak mau bersaing dengan kakakku yang sudah meninggal tapi setidaknya Kak Hikam tahu jika aku istrimu, istri yang secara sah Kakak nikahi."

"Wajah kalian sangat mirip, itu yang membuat aku sulit melupakan almarhumah kakakmu juga peristiwa menyedihkan itu tentunya."

"Lalu selamanya kita akan begini?"

"Aku sedang berusaha Dik, aku berusaha menghadirkan dirimu di sini, asal kau tahu sebenarnya aku ingin juga normal layaknya pasangan yang lain tapi bayang Dik Ais selalu ada di depan mataku tiap kali aku ingin memberi perhatian lebih padaku, aku yang telah membuat dia pergi, aku ..."

"Silakan Kakak berpikir lagi, apa perlu pernikahan kita dilanjutkan? Jika sampai lebaran nanti Kakak tak juga bisa seutuhnya menerima aku lebih baik kita tidak bersama-sama lagi di rumah ini, Kakak seolah tak percaya takdir, Kakak seolah bukan orang yang cukup ilmu agama, lalu untuk apa dilanjutkan rumah tangga yang sakit seperti ini?"

"Dik, tunggu! Jangan seperti ini, kamu tak tahu bagaimana rasanya kehilangan."

"Oh, jadi Kakak pikir aku tak merasakan sedihnya kehilangan Kak Ais?"

"Bukaaan bukan begitu."

"Sudahlah, kita selalu berakhir seperti ini, tiga kali sudah kan Kakak membahas ini dan tak juga menemukan ujung, jadi aku pikir kita harus menentukan batas waktu, jika rumah tangga yang aneh ini terus berlanjut yang jadi korban Abyan juga kan, kita bagai dua orang asing yang bertemu dalam satu lingkungan baru, tak juga bisa menyesuaikan diri dan hidup dalam dunia masing-masing, aku ingin hidup normal Kak, aku sudah berusaha tapi Kakak yang stagnan, jadi mari kita sepakat jika sampai lebaran kita tetap seperti ini maka aku minta ijin pergi."

Hikam menggeleng dengan keras, ia tak ingin Abyan tak ada yang mengurus.

"Tidak aku yakin kamu tidak akan tega meninggalkan Abyan."

"Aku harus tega Kak, meski dalam hati berkata lain."

"Kau tak merasa berdosa pada almarhumah kakakmu? Karena telah mengabaikan Abyan?"

"Kakak juga tak merasa berdosa mengabaikan aku?"

Dan Hikam tak menemukan jawaban, ia menunduk menghindari tatapan menghujam Nisa, ia tahu ia bersalah, ia tahu bahwa sebenarnya jauh di lubuk hatinya ia ingin memeluk Nisa dan mengusap punggung lelah itu, tapi lagi-lagi bayangan almarhumah istrinya yang meregang nyawa seolah mengikat jiwa dan raganya untuk terus mengutuki kelalaiannya hingga waktu yang tak tahu sampai kapan akan terus berputar melingkunginya.

🥀🥀🥀

1 April 2022 (06.14)

Dik Nisa, I Love You (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang