"Siapa yang menyuruh kamu ikut ke acara ini?"Nisa yang duduk setelah mengambil takjil segera menoleh, dia menemukan wajah wanita yang telah memberi sesuatu pada suaminya, beberapa waktu lalu. Nisa tak menghiraukan, dia pura-pura tak mendengar dan berbalik lagi duduk dengan tenang menikmati takjilnya.
"Heh aku bicara padamu, punya telinga nggak sih?"
Barulah Nisa menoleh lagi.
"Oh Anda bicara pada saya? Maaf saya pikir Anda yang dari kalangan terhormat tidak akan bicara seperti preman pada tamu."
Wanita yang tetap berdiri tegak di sampingnya terlihat marah.
"Kau bukan tamu kami."
"Aku diajak suamiku dan sebagai istri yang patuh aku ikut, dan yang aku lihat di sini banyak istri-istri yang ikut, lagi pula yang mengundang acara buka puasa ini bukan Anda, tapi ..."
"Aku anak dari orang yang mengundang suamimu."
"Oh, ya tetap bukan Anda yang mengundang kan? Maaf saya terganggu, bisa kan Anda menjauh dari saya?"
Kinar memejamkan mata, ia salah duga, ia pikir musuhnya kali ini sama seperti sebelumnya.
"Jangan sombong kamu, dikira aku tidak tahu, kamu hanya wanita yang dijadikan pengasuh anaknya oleh Hikam."
Nisa tertawa pelan, ia tetap lebih fokus pada takjilnya.
"Yaaaa yaaaa betul juga pengasuh, pengasuh bayi dan bapaknya sekaligus, pengasuh yang bisa dipeluk saat ingin."
"Jangan besar kepala, kau hanya hanya ..."
"Apapun yang Anda katakan tak akan berpengaruh bagi hubungan kami, kami suami istri yang sah secara agama dan negara, saya bukan orang yang mudah tertekan hanya omongan seseorang yang terobsesi pada laki-laki yang sejak jaman kuda gigit besi sudah diabaikan, carilah laki-laki yang mau pada Anda, jangan suami orang karena saya lihat Anda cukup berkelas, rasanya tak pantas Anda mendatangi saya hanya agar saya mundur menjadi istri seorang Hikam yang tak pernah tertarik pada Anda."
"Jaga mulutmu!"
"Ada apa ini?"
Hikam yang tiba-tiba datang membuat Kinar menahan kemarahannya.
"Ajari istrimu berbicara sopan!"
"Oh ya? Bukan kamu yang mengganggunya lebih dulu? Seperti yang kau lakukan pada almarhumah istriku? Aku tahu siapa kamu dan siapa istriku!"
Kinar meninggalkan Hikam dan Nisa yang saling pandang dengan wajah penuh tanya.
"Heran aja aku Mas sama wanita itu, apa salahku sampai dia membenciku padahal aku nggak kenal dia."
"Dia merasa kamu sebagai saingan, dia masih saja tetap berusaha mendekati aku."
Nisa mengerutkan keningnya.
"Ambil wudhu sana dulu Dik, bentar lagi sholat Maghrib berjamaah."
Nisa menghabiskan takjilnya dan segera meletakkan mangkuk kolak ke tempat mangkuk-mangkuk kotor.
"Di sana Dik tempat wudunya, aku antar?"
Nisa menggeleng sambil tersenyum.
.
.
."Ngomong apa aja Kinar sama kamu? Nyakitin kamu?"
Berdua menyusuri jalan dengan mobil yang dikemudikan dalam kecepatan sedang oleh Hikam membuat Nisa sedikit merasa ngantuk, ia menoleh sambil menggeleng.
"Nggak papa Mas lucu aja, baru tahu ini ada orang kayak kebingungan sama orang miskin kayak aku, aku ini apa sih kok sampe dia pedulikan, aku nggak bayangkan kakakku yang lembut dia caci maki kayak tadi pasti hanya diam dengan raut wajah sedih, mulutnya pedas bener, tapi aku bukan kakakku yang lembut, aku balas dia dengan bahasa lembut tapi menyakitkan sekali-sekali perlu lawan yang seimbang dia, aku jadi berharap bertemu dia lagi, belum selesai aku membalaskan sakit hati kakakku."
Nisa yang sempat terkantuk-kantuk jadi menegakkan duduknya. Nisa mendengar helaan napas Hikam.
"Nggak usah dilayani, kita jadi ikutan nggak waras."
"Kalau dibiarkan dia akan terus menekan aku, sekali-sekali kita perlu jadi orang gak waras saat lawan kita juga gak waras."
Hikam sekilas menoleh pada Nisa dan kembali berkonsentrasi pada kemudi.
"Aku baru tahu kalo kamu bisa melawan juga."
"Bukan melawan tapi membuktikan saja kalo kita nggak bisa diperlakukan semena-mena hanya karena dia kaya, lah dia loh siapa kok melarang aku hadir di sana, Mas diundang orang tuanya, aku diajak Mas ya aku ikut, lah seenaknya dia tanya siapa yang ngundang kamu? Bodoh apa bego?"
"Istighfar yang banyak Dik, gak usah nurutin napsu."
"Astaghfirullahal adziiiiim, dia loh Kak yang gangguin aku duluan."
Nisa tersenyum saat melihat Hikam yang baru tahu sifat aslinya jika ia diganggu.
Tak lama mobil telah sampai di rumah orang tua Nisa, Abyan mereka titipkan di sana karena kebetulan se arah dengan tempat buka puasa bersama tadi dan orang tua Nisa kangen pada Abyan. Ternyata Abyan telah tidur nyenyak dan keduanya disilakan duduk, tapi Nisa segera mengambil Abyan dari kamar ibunya lalu menggendong bayi laki-laki gemuk itu.
"Kita pulang yuk Kak, sudah malam."
"Lah memang sudah malam Nisa, duduk dululah, suamimu masih ingin duduk." Zahira berusaha agar Nisa lebih lama di rumahnya.
"Kasihan Abyan, Ummi, biar segera tidur di kasurnya, biar nggak kemaleman juga di jalan."
"Iya sudah hati-hati di jalan, Nak Hikam, Nisa."
Keduanya pamit, mencium punggung tangan kedua orang tua Nisa.
.
.
.Sesampainya di rumah ....
Hikam masuk ke ruang kerjanya, merapikan beberapa berkas dan ponsel di meja kerjanya menyala, terdengar pesan masuk.
[ Ajari istrimu agar sopan berbicara pada siapapun, dia bukan kelas kita, tak seharusnya ia ada di diantara kita]
Hikam meradang, meski hanya nomor yang masuk ia tahu jika itu dari Kinar. Ia tekan panggilan untuk nomor itu dan saat diangkat Hikam langsung menyemburkan ucapan pedas.
"Kau tak berhak bicara apapun tentang istriku, yang mengundang kami orang tuamu, dia istri yang baik, cerdas dan taat pada suami, semua hamba Allah sama di hadapanNya tak ada kelas atau apapun di agama kita, jadi jangan ganggu kami, terutama istriku!"
Terdengar tawa di seberang, tawa mengejek.
"Segitunya kamu mati-matian bela dia, cinta juga nggak, dia hanya ibu sambung bagi anakmu kan? Turun ranjang istilahnya, iya kan? Kayak nggak ada wanita lain aja, itu lagi dan itu lagi."
"Siapa bilang aku nggak cinta dia? Seiring berjalannya waktu aku mulai mencintainya, laki-laki mana yang tak akan jatuh cinta jika wanita patuh dan manis terus berada di dekatnya, aku bukan laki-laki tanpa perasaan."
Lagi-lagi terdengar tawa Kinar.
"Oh yaaa? Kamu punya perasaan? Lalu padaku yang cantik dan cerdas ini kau mati rasa, aku selalu berada di dekatmu tapi kamu abaikan aku."
"Tak cukup hanya cantik dan cerdas untuk bisa menarik lawan jenis, tapi sikap yang lebih membuat kami para laki-laki akan mati-matian mengejar jika wanita itu memang pantas ia perjuangkan, sedang kamu? Maaf tak masuk kriteria wanita yang aku suka! Selamat malam!"
Hikam mengembuskan napas berat, ia merasa sesak, emosi membuat dirinya tak bisa menahan diri untuk berbicara pedas, hal yang selama ini tak pernah ia lakukan, tapi saat menyinggung Nisa, ia tak bisa diam saja, sedang Nisa yang ada di luar ruang kerja Hikam memegangi dadanya, ia merasa bahagia saat Hikam mengatakan mulai mencintainya. Nisa merasa banyak kupu-kupu beterbangan mengelilinginya.
😍😍😍 Eaaak .... eaaaakk ...
8 April 2022 (10.54)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dik Nisa, I Love You (Sudah Terbit)
RomanceCover by @Hendzsadewa Menjadi ibu sambung bagi keponakannya sendiri tak pernah terpikirkan oleh Annisa. kecelakaan yang menimpa kakak dan iparnya hingga mengakibatkan kakaknya meninggal membuat ia menerima permintaan orang tuanya untuk menikah denga...