36 : HADIAH DARI REAN

231 40 16
                                    

"Apa lo berpikir gue nggak dengar? Seumur hidup, gue nggak akan mau nyentuh perusahaan, Re

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Apa lo berpikir gue nggak dengar? Seumur hidup, gue nggak akan mau nyentuh perusahaan, Re. Kalau lo memang memaksa, cepat atau lambat bakal gue hancurkan pelan-pelan."

Sepulangnya Om Ben, entah untuk berapa kali embusan napas panjang terdengar dari Rean. Ia memejamkan mata, menuju ruang kerja yang berada di lantai dua rumah, berhasil diekori oleh Dikta yang mengajukan aksi protes terhadapnya.

Sementara Gio? Ya, cowok itu merayakan hari spesialnya dengan mandiri. Paling ke rumah Nesya.

"Kalau gitu, jangan pernah ikut campur urusan gue. Data-data di lap ... ah, lupakan. Mungkin cuma dugaan gue." Rean merebahkan tubuh di kursi putarnya seraya mengambil kotak yang telah dibungkus kado dari laci meja. Saking lamanya berhadapan dengan Dikta, ia sampai tidak menyadari kalau si berisik Gio sudah pergi dari rumah sejak tadi.

"Data apaan?" tanya Dikta, menatap tajam.

"Bisa tolong beri ini ke Gio? Gue lagi nggak bisa hadapi dia," minta Rean, menyodorkan barang yang telah dihiasi pita merah maroon itu. "Kalau lo udah selesai, tolong tutup rapat pintunya."

Dikta yang penasaran, mengguncang kado tersebut, berharap dapat menemukan jawaban. "Isinya apa?"

"Lo pasti tau."

Dahi Dikta mengernyit. Dari hadapannya tampak Rean membolak balik beberapa berkas tidak selera, seolah-olah meskipun tubuh itu ada di sana, tetapi pikirannya entah melayang ke mana.

Merasa terus ditatap, terpaksa Rean memberi penjelasan jauh lebih panjang lagi. "Dulu dia suka, kan? Gue ingat, dia selalu ajak gue main permainan itu, tapi sayangnya nggak pernah bisa gue lakukan bahkan menepati janji itu ke Gio."

"Gue pikir, dia sebenarnya masih nagih janji itu ke lo," ucap Dikta tersenyum miring, lalu mengangkat kedua bahu. "Yah, meskipun kayaknya bakal susah kalau sekarang "

Dalam hati, Rean menyetujui.

Kedua alis Dikta terangkat, bukan heran, tetapi lebih tepatnya berusaha untuk membujuk. Ah, setengah kasihan juga kepada Rean melihat abangnya itu senantiasa sibuk saat kapan saja. Meskipun ia juga kasihan kepada Gio.

"Lo benar nggak mau ucapin apa pun ke dia hari ini?" tanya Dikta, memastikan sekali lagi. Sesekali matanya memperhatikan berbagai judul di rak buku, tetapi nihil, tidak ada kejanggalan apa pun.

Rean menggeleng lemah, masih tertunduk, fokus dengan berkasnya.

"Kenapa?"

"Lo lihat kegiatan gue, kan?" tanya Rean akhirnya menegakkan tubuh. "Sana lo, keluar."

"Lo selalu berakhir kayak gini setiap Om Ben datang," ujar Dikta, tak tahan. "Apa ada hal penting yang nggak gue ketahui?"

"Jelas ada," jawab Rean, datar. Menautkan kedua jari, lalu mengepal menumpu dagu. "Lo yang nggak pernah menyentuh perusahaan, jelas nggak akan ngerti."

Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang