Ujian

49 12 3
                                    

"Mas, kalau kerja itu yang benar. Masa mendekati deadline belum rampung?"

Akaashi menghela nafas, memijit pelipisnya yang terasa berat karena terus teringat ucapan rekan kerjanya.

Ingin rasanya ia meledak, orang yang menegurnya sama sekali tidak membantu dalam proyek dan kini memaksa dirinya untuk bekerja lebih keras?

"B*ng*l banar--astaghfirullah! Kada boleh kaitu!" (Ga punya otak--astagfirullah! Ga boleh gitu!)

PLAK!!! Akaashi menampar wajahnya sendiri, hampir berkata kasar.

"Sabar, Keiji... ini senin dan lagi puasa." Akaashi mengelus dada, tidak bagus juga untuk dirinya terpancing emosi.

Sambil menyandarkan punggung pada kursi kerja, Akaashi melepas kacamata dan memejamkan kedua matanya sejenak.

Ibu jarinya mengetuk tepat di tengah 3 lipatan ruas jari-jarinya, bibirnya dengan lemah bergerak komat-kamit.

Pikirannya masih berkecamuk akan kejadian tadi, kejadian yang tidak mengenakkan hati. Alisnya sampai berkerut, dan rasa panas masih mengisi rongga hati.

"Subhanallah... subhanallah... subhanallah..."

Teringat ia sendiri hampir mengatakan sesuatu yang tidak pantas, hati Akaashi mencelos. Ia diliputi rasa bersalah.

Meski kalimat-kalimat kasar itu hanya muncul dalam benaknya, Akaashi tetap merasa tidak enak hati.

"Astaghfirullah... astagfirulllah... astagfirulllah..."

Perlahan, Akaashi mulai rileks. Rasa gundah dan kalut yang ia rasakan sedikit demi sedikit sirna. Hatinya mulai merasa tenang.

Pereperepereperepere~

Notifikasi WhatsApp menginterupsinya kegiatan Akaashi, ia menegakkan kepala dan memicingkan iris zamrudnya pada ponsel yang tergeletak di atas meja.

Pesan dari ibunya.

"Keiji sayang, kapan pulkam nak?
Ibu sama bapak kangen."

Membaca pesan itu membuat Akaashi segera memasang kacamatanya, membuka aplikasi WhatsApp dan membalas pesan dari ibunya.

"Insyaallah seminggu sebelum lebaran keiji baru bisa ambil cuti libur bu."

"Benarkah? Alhamdulillah, ya udah
nanti kabarin kalau pulang ya?
Bapakmu nanyain soalnya."

Akaashi tersenyum, membayangkan wajah ayahnya yang selalu datar dan terkesan dingin namun selalu ada untuk dirinya sedari kecil.

Jika dikatakan hubungan dengan ayahnya buruk, sebenarnya tidak. Ayahnya hanya tegas layaknya seorang pria yang menjadi kepala rumah tangga.

Terkadang memarahi demi kebaikan juga, dan bagi Akaashi, ayahnya adalah sosok bijaksana yang selalu menjadi panutannya.

Sosok ayah yang telah mengajarkan Akaashi untuk menjadi pekerja keras, disiplin, dan bertanggung jawab akan segala hal yang ia tentukan.

Meski dikatakan kaku, Akaashi tahu ayahnya juga punya sisi lain.

Ayah Akaashi terkadang suka membuat lelucon khas bapak-bapak ronda, bermanja ria pada sang istri dengan berbaring di atas pangkuannya. Suka khawatir dengan menanyakan kabar melalui istrinya dari pada anaknya langsung.

Walaupun Akaashi anak tunggal, ayah Akaashi tidak begitu memaksa mengenai pasangan hidup ataupun momongan.

Ia hanya ingin Akaashi baik-baik saja saat menjalani kehidupan di kota yang berbeda.

Sementara ibunya merupakan sosok yang begitu lembut, terkadang cerewet namun selalu memberikan perhatian pada Akaashi sedari kecil juga.

"Iya bu, nanti aku bawaakan jambu kristal sama kopi ya?"

"Iyaa nak, ga dibawain juga ga papa. Yang penting tahun ini kamu pulang ya."

Akaashi menggigit bibirnya, tubuhnya bergetar.

"Ughh-- tahan!!" Akaashi mendongak, melotot ke arah langit-langit. Menahan matanya yang mulai memanas, ia tidak boleh menangis.

Kalau ia menangis, puasanya akan batal. Agak memalukan juga karena ia sedang berada di kantor.

Entah karena 2 tahun yang lalu ia tidak bisa pulang kampung akibat pandemi, Akaashi sedikit emosional jika diminta pulang ke rumah.

Selain karena kesepian, rindu suasana rumah. Menjalani hari-hari berat dengan internet naik turun dan kecemasan akan Corona.

Mimpi buruk.

Namun dari sana Akaashi sadar betapa pentingnya alat komunikasi untuk melepas rindu, menanyakan kabar yang dulunya dianggap hal sepele kini menjadi prioritasnya.

Akaashi sangat bersyukur orang tuanya juga baik-baik saja di kampung halaman mereka.

Di antara kejadian pahit, akan selalu ada hal manis yang tidak kita sadari ada. Terlalu tenggelam dengan bagian buruk hingga tak menyadari jika masih ada hal baik.

Iris zamrud itu masih menatap layar ponselnya, jari jemarinya kembali mengetuk-ngetuk.

Akaashi masih diberikan kesehatan, orang tuanya juga masih lengkap. Masih memiliki pekerjaan dan dicukupkan rezeki untuk makan sehari-hari, hingga ia bisa membagi uangnya untuk orang tuanya di rumah.

Walaupun ia mengalami hari buruk dengan rekan kerja, bukankah masih ada hal lain yang bisa ia syukuri hari ini?

Cuacanya tidak panas, mendung berawan memberikan nuansa sejuk. Memberikan keringanan untuk dirinya yang tengah menjalani ibadah puasa pula.

"Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah..."

*****

Author Note :

Akaashi yang terkesan sempurna namun selalu tenggelam akan pikiran negatif. Terkadang ia akan mencari tempat untuk menenangkan diri dan mencari hal positif ketika menganalisa masalah yang ia alami.

Dari pada tenggelam akan amarah, bukankah lebih baik menyelesaikannya dengan kepala dingin?

#Akaashiimamable

Di book ini Akaashi lemah lembut dan selalu bersikap serius dalam pekerjaannya, terkadang suka bercanda, sikapnya sopan pada orang tua. Terkadang lemot dan suka memaksakan diri. Sedikit kesusahan untuk mencari pasangan hidup karena terlalu fokus mengejar impian.

Bagaimana menurut kalian dengan Akaashi yang seperti itu?

#Akaashisuamiable

Buat yang penasaran kata apa yang Akaashi ucapkan itu kata "Bungul". Merupakan kata kasar dan bisa diartikan tidak punya otak, bodoh, dan tergantung konteks bisa beda arti lagi.


03022022

Sowlmate in RamadanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang