BAB 1 : Melody [1]

4 1 2
                                    

Dentingan antara gelas dan sendok beradu pagi itu, membuat suasana rumah yang cukup sepi menjadi hidup. Tangan putih pucat kecil memegang cangkir teh bercorak bunga cornflower berwarna emasnya dengan hati-hati, meniupnya, lalu menyeruput isinya perlahan.
"Kallen, ayahmu meminta untuk datang ke ruang kerjanya," ucap seorang wanita cantik dengan nada lembut ke-ibuannya.

"Iya." Singkat, padat, dan jelas, seperti itulah sifat seorang anak bernama lengkap Kallendric Von Eden, baik pada keluarga sendiri dia adalah pribadi yang cuek dan dingin. Setelah menyahuti ibunya, Kallen pergi meninggalkan ruangan favoritnya bersama dengan secangkir teh yang sudah tandas, menuju ruangan kerja ayahnya.

Tok...tok...tok...

Ketukan ketiga Kallen pun angkat bicara, "Ayah, ini saya, Kallen." Meminta ijin kepada ayahnya adalah suatu hal yang mutlak.

Hanya sunyi yang menyambut Kallen, tidak ada tanggapan apapun dari sang ayah. Kallen memasuki ruangan dengan ukuran yang lebih lebar dari kamarnya itu perlahan, bukan bermaksud lancang tapi terbukanya pintu itu sudah cukup menjadi lampu hijau. Kallen hanya berdiri di ambang pintu sebelum di perintahkan ayahnya untuk duduk di sofa mewah berbalut kain beludru lembut nan empuk diruangan itu."Seminggu dari sekarang ayah ingin kamu berlatih kembali, untuk mengikuti perlombaan di Hackeschen Hofen, kamu akan memainkan sebuah musik yang ayah siapkan." Pinta ayahnya, ah tidak lebih tepatnya titah ayahnya.

"Bukankah perlombaan itu tidak memiliki tema khusus?" pemuda kecil ini menatap dingin ayahnya.

Mata sang ayah memicing tajam "Memang benar, tapi kau adalah seorang keturunan Nexeles, keluarga kita sudah turun temurun meraih berbagai macam penghargaan, dan gelar kehormatan, serta merangkul banyak relasi," ucap ayahmya tegas.

"Selama itu adalah musik klasik tidak ada salahnya membuatmu ikut serta. Kamu tau sendiri Kallen, hampir seratus persen para pemain piano professional tak ada yang bisa menyetarakan apalagi menandingi kemampuanmu. Para pemain musik klasik lain hanyalah sebuah batu loncatan untukmu menjadi yang paling sempurna." Ayah berumur kepala tiga atau sering di panggil tuan Arthur Von Eden ini melanjutkan ucapannya lagi dengan nada yang tenang. Kallen menggeram tidak suka, perlombaan ini memanglah mudah baginya, tapi entah musik seperti apakah yang akan ayahnya pilihkan. Musik tersulit yang ia tahu sejauh ini adalah Islamey (Fantasia Oriental). Jika Kallen tidak menang, ayahnya ini akan menjadi 5x lipat lebih kejam, apabila mendengar kata gagal.

"Keluarlah dari ruanganku," usir Ayahnya.Tanpa sepatah kata'pun Kallen meninggalkan ruangan dingin itu diiringi mengerasnya kepalan tangannya.

Setelah keluar dari ruangan ayahnya Kallen disambut ibunya yang membawa semangkok salad sayur kesukaan Kallen. "Kall-" Ibu Kallen, Ellen Von Eden adalah wanita cantik yang memberitahukan bahwa Kallen harus ke ruangan ayahnya.

"Saya tidak lapar bu," tukas Kallen cepat, dia sedang berada dalam suasana hati yang tidak baik. Perlu kalian ketahui, Kallen memanglah cuek dan dingin tapi dia hanyalah bocah kecil berumur 10 tahun yang belum bisa mengontrol emosi.

Ibu Kallen tersenyum kecut, putra yang ia lahirkan dengan susah payah sangat berbeda jauh dengan sewaktu masih balita. Dia tidak menyukai anaknya menolak dirinya. Segera sebelum Kallen memasuki kamarnya Ellen menjambak rambut Kallen. "Seperti inikah pembalasan yang kamu berikan kepada ibu yang sudah melahirkanmu Kallendric?" Ellen tersenyum sangat lebar.Kallen hanya bisa diam tidak bergerak atau bersuara, "Kallen sayang ibu kan? Kalau iya, menangkan perlombaan musik klasik itu nanti, jangan buat ayah dan ibu malu!" Ellen melemparkan isi mangkok yang ia bawa ke wajah Kallen, sedetik kemudian dia dilempar begitu saja ke lantai hingga sisi kiri kepalanya terbentur tembok, dan ibunya yang melengos pergi.

Memegang kepalanya yang berdenyut dengan sekuat tenaga yang tersisa, Kallen bangkit dan berusaha kembali masuk kedalam kamarnya. Saat Kallen mendudukan diri diatas ranjang king sizenya, seorang butler masuk kamarnya membawa sebaskom air hangat dan handuk kecil. Butler berambut putih, kulit yang agak keriput, tinggi sekitar 165 cm, yang dipanggil paman Sebastian.

"Paman, Ada apa?" Kallen menatap heran pada Paman itu. Paman sebastian hanya tersenyum kemudian duduk di depan Kallen. Dibersihkannya lah rambut dan muka Kallen dengan hati-hati, setelah bersih ia beranjak menuju sebuah nakas kecil yang berada disebelah lemari pakaian. Lalu kembali seraya membawa kotak PK3, paman Sebastian terlihat tengah menggulungkan kapas lalu memasukannya dengan perlahan kedalam hidung Kallen. Sebastian menggulung kapas dan memberikannya pada Kallen.

"Masukanlah kapas itu perlahan ke dalam hidungmu, jangan terburu-buru itu hanya untuk penahan agar darahnya tidak keluar," Jelas Sebastian.Sesuai yang diintruksikan Kallen melakukannya dengan hati-hati.

"Terima Kasih paman." Kallen mengalihkan pandangannya menuju keluar jendela yang disahuti Sebastian dengan senyum simpul.

"Tuan muda, didekat jalan utama dibuka pasar malam apa tuan berniat untuk pergi kesana?" tanya Paman Sebastian dengan segaris senyum hangat yang terpampang, Kallen menatap paman itu sejenak lalu berkata, "Aku tidak tertarik".

"Apa tuan yakin? Pasar malam ini berbeda, saya lihat kemarin ada beberapa alat musik di sediakan untuk dimainkan secara gratis." Senyum Sebastian semakin nampak saat ia yakin gurat wajah tuan mudanya itu sangat penasaran dan tertarik dengan apa yang di ucapkannya.

Bersambung...

Ini adalah karya saya yang sudah dibuat dari 2018 dan baru dipublikasikan sekarang, berharap kalian suka. Jangan lupa tinggalkan kritik dan saran, terima kasih.

Limerence - Jerien SipendisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang