27 | Kasih Sayang Tak Terduga

773 143 12
                                    


***

"apa?"

"aku harus ke Seoul, sudah berbulan-bulan tidak menengok restoranku semenjak menikah."

Sepertinya Suzy lupa kalau Myungsoo itu seorang Chef. Gara-gara terus berkutat dengan hotel, Suzy terus memanifestasikan Myungsoo sebagai pengusaha. Padahal di Seoul, Myungsoo masih punya kewajiban yang harus ia kerjakan meski sudah ditangani pihak profesional.

"benar juga, kau punya restoran ya," Suzy tercenung beberapa saat.

Myungsoo menyungging senyum, kemarin Chef Park—asistennya mengabari bahwa dirinya harus datang ke Ryugaami—nama restoran Myungsoo yang khusus menyajikan makanan Korea. Resto bintang lima itu sudah punya tiga cabang di Seoul dan dua lagi di Kota yang berbeda lalu ada satu di Jepang. Kalau dipikir-pikir, Myungsoo sangatlah mirip Kakek ya? Sama-sama mengawali karir di bidang makanan. Bisnis ya pun cukup lancar, pantas saja dia bilang mengelola hotel sangatlah mudah karena sudah punya basic sedari awal.

"selain itu kau juga selebriti dan pewaris keluarga konglomerat di Korea." Imbuh Suzy lagi, ia menatap Myungsoo agak lama. Di posisi mereka—duduk saling bersampingan, Myungsoo masih betah bergeming sambil memuja sosok Suzy di lubuk hatinya. Pria itu mengamit jemari Suzy, memainkannya sesekali mengusap pelan.

"pantas saja mereka menyebutku gold digger," perempuan itu menusuk-nusuk pipi Myungsoo dengan telunjuknya. "karena aku menikahi pria sepertimu." Ucapnya sembari mencondongkan tubuh ke wajah Myungsoo.

"kita saling memanfaatkan, Suzy. Bukan hanya kau saja." Timpal Myungsoo cepat, tatapan teduhnya melelehkan hati Suzy. Suara Myungsoo sangat lembut sangat mengatakannya, meski di balik ucapan itu tersirat keganjilan bagi Suzy.

Kami, tidak akan berhasil, kan..?

"sedari awal hubungan kita sudah aneh." Bisik perempuan itu sebelum membaringkan kepalanya di atas dua paha Myungsoo. Suzy menatap langit-langit, bergeming cukup lama sementara Myungsoo masih memainkan jari jemarinya.

Myungsoo ikut terdiam, kedua matanya memandang foto pernikahan mereka yang di pajang di tengah rumah tepat beberapa meter di depannya. Di foto itu keduanya terlihat bahagia seperti pasangan sungguhan, atau memang mereka sudah lupa kalau pernikahan ini hanya sandiwara?

"Myungsoo, sebenarnya akhir-akhir ini aku menemui psikiater." Suzy merasakan tubuh Myungsoo menegang, seakan pria itu siap menimpal perkataannya. "tunggu, biarkan aku menyelesaikan ucapanku," Suzy menahannya. Ia menyadari pegangan Myungsoo di tangannya mengerat, pria itu terlihat cemas dan gelisah.

"sebelumnya aku tidak berniat bercerita padamu, tapi ku rasa kau harus tahu." Katanya hati-hati masih dalam posisi yang sama. "belakangan ini rasa-rasanya aku jadi orang yang berbeda, bahkan aku tidak mengenal diriku sendiri. Aku kesulitan tidur, makan tak teratur, aku berada di tengah kalian tapi rasa-rasanya masih kesepian,"

Myungsoo merasakannya juga. Dimana tiap tengah malam ia selalu menemukan Suzy terjaga di balkon sambil menatap hamparan laut dengan beberapa kaleng bir di meja sebelahnya. Pria itu menelan salivanya berat, ia menyandarkan punggung ke sofa dan menutup kedua matanya.

"rasanya aku sudah gila, bahkan aku tidak punya masalah apapun, bukan? I'm absolutely fine, pekerjaan dan lainnya cukup lancar. Tapi kenapa aku masih merasa hampa? Itu pertanyaan untuk diriku sendiri setiap hari." Suzy menjeda ucapannya sebentar, mengatakan isi hatinya cukup menyesakkan sekaligus lega, bersamaan dengan buliran air mata yang keluar. "tidak menemukan jawaban, temanku Chanyeol menyarankan aku ke psikiater. Kesanalah aku,"

Tiba-tiba saja perempuan itu tertawa kecut, "Kau tahu apa yang Dokter itu bilang? Ini sangat lucu sampa-sampai aku tertawa keras saat mendengarnya. Dokter bilang aku depresi karena kematian Ayah, katanya jiwaku terguncang hebat namun aku tak menyadarinya. Ck, bagaimana mungkin? Kau tahu sendiri aku dan Ayah tidak dekat sama sekali," tawa perempuan itu semakin terdengar, namun lama-lama berubah menjadi isak tangis memilukan. Suzy yang masih berbaring di paha Myungsoo menutup kedua matanya dengan lengan, ia kemudian menangis sekeras-kerasnya.

We Are On The Same Boat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang