(1)
─────
Sekujur tubuhku pegal sekali setelah seharian menaiki kereta. Hari ini, menurut ramalan cuaca—dan keadaan nyatanya—salju turun agak deras di Munich. Dan udaranya memang dingin sekali untuk tubuh manjaku yang selama ini hidup hanya berada di udara paling dingin 17 derajat celsius.
Kueratkan pakaian terluarku, berharap agar lapisan-lapisan pakaian di dalamnya tetap menghangatkan tubuhku—walaupun faktanya tidak. Karena itu, saat aku berjalan menjauh dari stasiun dan melihat kedai teh, aku mampir. Pundi-pundi uangku masih cukup untuk membeli segelas teh susu panas dan soft cookies.
Suara lonceng agak mengagetkanku saat kubuka pintu. Ada penjaga kedai tersenyum padaku. Kuhirup dalam-dalam wangi kedai ini.
"Halo, selamat sore!"
Keramahtamahan adalah hal yang langka-tidak langka di sini. Namun, aku datang dari negara yang begitu ramah dan terdampar di tempat ini. Jadi, akan kuhargai ramah-tamah setiap orang.
"Halo," ucapku. "Apakah aku boleh memesan segelas teh susu hangat dan soft cookies?"
"Ah, tentu saja," ia memfokuskan dirinya pada tablet di hadapannya, menuliskan menu yang aku pilih. "Apakah luke warm atau panas, ya?"
"Panas," jawabku cepat. Aku tidak ingin cepat-cepat hengkang dari kehangatan kedai ini. Dan harumnya. Dan suasananya.
"Baik. Atas nama?"
"Embun. E. M. B. U. N."
Ia tertawa kecil dan berkata bahwa ia sudah memasukkan namaku ke program mesin kasirnya. "Silakan menunggu, akan saya antar."
Kedainya cukup lengang. Ada beberapa orang yang terdiam tenggelam dalam kegiatannya sendiri-sendiri: ada seorang perempuan berambut merah sedang berkutat dengan laptopnya, seorang laki-laki berbahu lebar sedang membaca buku, dan satu orang yang sepertinya aku kenal sedang melamun.
Benar. Ia seseorang yang aku kenal. Mahasiswa TUM* yang pernah bertemu denganku saat bersama-sama berkumpul dengan mahasiswa dari negara kami. Aku memanggil namanya untuk memastikan dan ia menoleh. (*Technische Universität München atau dalam bahasa Inggris Technical University of Munich)
"Oh, hai," ia mempersilakanku untuk duduk di hadapannya. "Anak LMU*, kan?" (*Ludwig-Maximillan Universität)
Aku mengangguk. "Kok tahu?"
"Kelihatan dari mukanya," jawabnya. Kukerutkan keningku. Memangnya kelihatan, ya?
"Kalau kamu anak TUM," ujarku. "Iya, bukan?"
"Iya. Tahu aja."
Aku tergelak. "Aku tahu soalnya pernah kumpul-kumpul, kan, sama anak Indo lain?"
Ia menjentikkan jarinya. "Benar. Kamu bukan anak Jakarta, ya?"
"Bukan," jawabku. "Kenapa?"
"Nggak," ia mengedikkan bahu. "Biasanya anak Jakarta pakai lu-gue."
"Kamu anak Jakarta?"
"Iya tapi udah lama tinggal di Medan."
"Oh...."
"Kamu?"
"Solo," jawabku. "Tapi sempat sekolah di Jogja, cuma itu nggak penting. Masih satu rumpun dan udaranya juga sama bikin tulangku manja."
Ia terkekeh. "Medan juga."
"Anyway, aku penasaran," aku berdeham, berusaha menghalau serakku. Ia menaikkan alisnya. "Kamu tahu aku anak LMU, gimana caranya? Maksudku, kayaknya aku waktu itu nggak terlalu kelihatan."
"Ada hawa-hawa anak LMU yang beda sama anak TUM."
"Emang iya?"
"Enggak sih, sama-sama hawa stres," kelakarnya. "Omong-omong, namamu siapa?"
"Embun," balasku. Karena aku sudah tahu namanya, aku tak menanyakannya.
"Embun pagi?"
Dan kebetulan namaku memang Embun Pagi.
"Iya. Itu emang nama lengkapku," senyum kecil terulas di wajahku.
"Oh! Itu kamu, ya?"
"Apa?"
"Yang ketumpahan wine waktu kumpul-kumpul itu," timpalnya. Entah mengapa ia terlihat lucu ketika mengatakannya.
"Bukan. Yang itu salah satu temanku..."
"Oh...." ia menggaruk belakang kepalanya. "Maaf kalau gitu, salah orang."
Dan, memang sudah biasa. Salah orang, salah ini, salah itu. Nasib orang biasa-biasa saja begini nih, batinku.
Aku melihat penjaga kedai tadi datang ke arah kami dan meletakkan pesananku di meja. Kuucapkan terima kasih dan ia berkata kami terlihat lucu dan serasi. Aku terbatuk dan berkata kami hanya sekadar kenalan.
"Uh, tapi namamu bagus," ujarnya, berusaha membuat suasana kembali hidup. "Maksudku... Embun Pagi."
"Makasih..."
"Kamu ambil jurusan apa?" tanyanya.
"Ekonomi," balasku. "Kalau kamu?"
"Informatik," jawabnya singkat. "Kamu habis dari mana?"
"Eh?"
"Oh, kamu nggak dari stasiun?"
"Oh iya, aku dari stasiun. Aku barusan dari Freiburg," ujarku cepat. "Kamu tukang tebak-tebak, ya?"
Tawanya terdengar. "Ya... begitu deh. Maksudnya, siapa sih yang datang ke sini di tengah hujan salju selain orang-orang yang turun di stasiun dan orang sinting?"
"Kamu juga dari stasiun?"
"Bukan, aku orang sinting."
─────
notes:
haiii, met datang di cerita ini! mudah-mudahan kamu suka yaa!