2. pasar dan trem natal

191 22 13
                                    

(2)

─────

Sesaat aku seperti orang sinting saat mencoba sandwich yang kubeli ketika aku menunggu seseorang yang sudah beberapa hari ini menjadi temanku. Ia belum datang. Itu wajar lantaran aku berinisiatif datang lima belas menit sebelum jam janjian kami. Ia mungkin orang yang benar-benar tepat waktu.

Saat aku mengecek ponselku, aku mendapatkan notifikasi darinya. Ia berkata ia sudah berada di dekatku.

"Halo, aku pakai padding hitam."

"Ji, yang pakai padding hitam bukan cuma kamu."

"Ya Tuhaaaan. Kamu pakai syal warna apa?"

"Krem dan kamu di mana emangnya?"

"Di pintu masuk."

"Oke aku aja yang ke sana."

Sejenak kulirik pohon natal besar yang terpampang di pusat tempat ini dan bergegas menuju pintu masuk. Tempat ini ramai jadi aku harus teliti dalam melihat. Siapapun itu, ber-padding hitam, berwajah Asia, dan agak konyol.

"Embun!"

"Oh heiiiii," aku berjalan ke arahnya.

"Kamu udah dari tadi?" tanyanya menunjuk ke sandwhich yang aku pegang.

"Oh, enggak juga," timpalku. "Mau?"

Ia menggeleng. "Mau sih, cuma aku beli sendiri aja."

"Coba dulu deh..." aku tersenyum. Ia menangkap sinyal mencurigakan dariku.

"Yaudah sini buat aku aja," ia terkekeh. "Kamu nggak mau, kan?"

Ya ampun.

"Eh—"

"Gak papa. Aku laper juga. Semuanya bisa kumakan."

"Oke. Danke." (Terima kasih)

"Ja, bitte." (Ya, sama-sama)

"Kamu minum bir, nggak?"

Adalah pertanyaan saat aku berhasil menemukannya yang tiba-tiba menghilang di balik kerumunan pasar natal, membuatku nyaris menangis. Kupejamkan mataku sebentar sebelum akhirnya menyumpah dalam hati karena bisa-bisanya aku malah memeluknya dan bukannya menginjak kakinya dengan bootsku.

"Ji, kamu tuh jangan tiba-tiba hilang gitu dong di tengah kerumunan begini..." aku merengut, memandangi dengan kesal temanku itu. "Mana kamu gak angkat telfon!"

"Sori, sori," ia nyengir kecil. "Aku tahu kamu nggak akan berusaha nyari aku kalau aku hilang."

"Maksud kamu!?"

"Maksudku, kamu bakalan berdiri atau duduk di sini-sini aja. Takut malah kita saling hilang. Iya, kan?"

"Iya..."

"Nah, ayo kamu mau lihat-lihat apa?"

Dan, yang aku lihat di pasar natal selalu berisi kesenangan. Dari pernak-pernik dan kerajinan tangan yang unik khas Bavaria hingga makanan yang lumayan enak (walaupun makanan Indonesia masih terdeteksi membuat lidahku manja), coklat, dan bir. Laki-laki di sampingku ini membeli beberapa makanan dan pernak-pernik. Sedang aku, yang walaupun tidak bokek-bokek amat tetapi tetap harus hemat, membeli selai—entah selai apa ini, kartu yang "Jerman banget", dan lilin dekorasi.

"Mau ini, nggak?" tanyanya, menawarkan makanan yang baru saja ia beli. Ia menyodorkanku Kartoffelpuffer (seperti hashbrown) yang sejujurnya sudah ia gigit.

"Boleh," aku memajukan wajahku, menggigit bagian lain dari pancake kentang itu.

"Kamu tinggal di mana?" tanyanya, memandangi Neues Rathaus (New Town Hall) yang berdiri dengan megah di belakang pasar natal ini.

Aku menyebutkan nama jalan dekat apartemenku. Entah mengapa, aku sama sekali tak terbiasa menyebutkan langsung nama apartemen tempat aku tinggal.

"Kamu tinggal di Wohnung?" tanyanya. Wohnung adalah apartemen untuk diri sendiri. Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Aku kira kamu anak Wongemeinschaft," ujarnya. Wongemeinschaft sendiri adalah semacam kontrakan—biasanya apartemen—yang sistemnya sharing dengan teman.

"Enggak," aku menggeleng. "Kamu?"

Giliran ia menyebutkan di mana ia tinggal. Ia tinggal di sebuah apartemen sharing yang ia sebutkan tadi sebelumnya. "Yah, sekitar dua puluh menit dari TUM kalau jalan kaki. Gak sampai sepuluh menit naik bus."

"Lumayan lah ya."

"Kapan-kapan kalau kamu udah nggak terlalu takut sama aku, bakalan aku kenalin ke teman-temanku."

"Hah?"

"Kamu masih was-was, kan?" ia tersenyum kecil. Sebelum aku membantah atau memberi argumen, ia menambahi, "Kita juga baru kenal dua minggu. Santai ajalah, serem juga kalau misalnya kamu langsung percaya sama aku."

Aku... terperangah.

─────

Kami berlari. Dari Marienplatz, tempat pasar natal yang kami kunjungi tadi, menuju Sendlinger Tor. Hanya ada satu jadwal lagi sebelum trem natal selesai beroperasi hari ini.

Melirik jam tangan, laki-laki di sampingku itu menggenggam tanganku dan berkata agar aku tetap hati-hati karena jalanan licin.

"Aku nggak kepikiran buat naik trem natal," ucapku agak terengah ketika sampai di tempat tujuan. Kudapati ia membayar dua tiket seharga masing-masing 2 euro dan tersenyum padaku.

"Kalau sore ada Sinterklas," ujarnya. "Tapi kamu ada kegiatan jadi aku nggak bisa maksa."

"Iya, maaf ya," aku nyengir. "Lain kali aja, mau?"

Ia terkekeh. "Nggak ah. Satu kali ini aja."

"Tuh, tremnya," ia berkata seolah ia adalah tour guide-nya di sini.

"Kamu udah berapa lama di Jerman?" tanyaku saat kami menaiki trem.

"Eum... kayaknya kita sama? Lima tahun?"

"Oh, sama kalau gitu..." aku manggut-manggut dan duduk di tempat yang tersedia. Kulihat ia menengok ke belakang untuk memperhatikan pemandangan. Kami menghabiskan waktu kami di paruh awal perjalanan dengan terdiam. Baru ketika kami sampai di Maxmonument, ia berkata,

"Aku pernah jalan-jalan ke sini waktu awal Studkol*. Terus aku kesasar," ia nyengir. "Waktu itu aku lagi nggak ada pulsa buat ngapa-ngapain jadi aku beneran kesasar. Mana bahasa Jermanku masih nggak selancar sekarang." ( *Studienkolleg adalah penyetaraan ijazah SMA di Jerman)

"Terus kamu gimana...?"

"Nabrak orang Ausbildung* deh untungnya. Dia orang Indo jadi mau bantuin cari bus," ceritanya. "Aku sehabis itu sempat malas jalan sendirian." ( *Ausbildung adalah pendidikan dan pelatihan profesi. Mungkin seperti sekolah vokasi ya?)

"Sempat? Sekarang enggak?"

"Yah, kepepet," ia berujar. "Teman-temanku nggak terus-terusan bisa diajak jalan-jalan..."

"Oh iya juga..."

"Oh, ya," senyum di matanya yang tadinya pudar kembali terlihat. "Aku mau ceritain teman-temanku."

"Oh, silakan."

Dan, ia bercerita mengenai teman-temannya. Bagaimana ia bisa bertemu dengan mereka, bagaimana kemudian akhirnya mereka memutuskan untuk berbagi apartemen, dan macam-macam. Aku dapat melihat bintang-bintang di matanya ketika ia bercerita. Ada yang begitu menyenangkan dan begitu cantik dan begitu penuh harapan dan aku ingin...

Aku ingin ia menceritakan diriku—pada siapapun itu—sama seperti ia menceritakan kelima teman baiknya.

─────

notes:

kamu udah makan apa hari ini? kalau belum makan, jangan lupa makan!!

g.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang