(3)
─────
Pemandangan di depan kami sangat bagus. Terlihat bangunan-bangunan yang kalau sekali dilihat pasti akan membuat ibuku berkata, "Ya baguslah. Jerman mirip yang di internet."
"Tadi kupikir kita bakalan ketangkap," laki-laki di sampingku ini tersenyum lebar. "Taunya emang boleh masuk."
"Kamu belum pernah ke sini?" tanyaku. Saat ini kami berada di dalam Altes Rathaus (Old Town Hall), sedang memandangi menara Gereja St. Peter.
"Belum karena kupikir nggak boleh masuk. Aku pernahnya ke sana," ia menunjuk menara gereja. "Pemandangannya keren, termasuk Rathaus ini. Kamu pernah?"
Aku mengangguk. "Tapi menurutku enak di sini..."
"Karena sepi, ya?"
"Yep."
Aku memandangi profil samping seseorang yang sudah kukenal lebih dari satu bulan ini. Kupikir, tak banyak yang berubah dari diriku kecuali seringnya aku berjalan-jalan. Hal itu juga terpicu karena laki-laki ini suka jalan-jalan. Kadang, aku ingin mengajaknya pergi ke manapun kakiku bisa melangkah. Asal dengannya, segalanya menjadi seru. Celetukannya yang kadang aneh itu membuat suasana hatiku membaik. Reaksi antusiasnya, spontanitasnya, semuanya.
"Oh," ia memegang bahuku. "Besok malam aku ada manggung. Kamu tahu, kan, rumah makan tempat geng Xonce sering kumpul?"
Aku tertawa. "Maksud kamu geng Xonce itu geng kamu, kan? Yang paling berisik di kafe itu?"
"Iya, aku nggak termasuk yang rame tahu..."
Tawaku semakin lebar, tahu benar ia yang paling sering merecoki anak-anak Xonce. "Oke..."
"Nah, di situ aku manggung sama anak-anak."
"Oke, aku usahain buat datang," ujarku. "Kamu main gitar, kan?"
"Yep-yep. Tapi jangan ketuker sama Hansen. Gantengan aku."
"Iya, iya..." aku terkekeh.
Kami terdiam selama beberapa saat. Netraku memperhatikan St. Peter's Church Tower dan bangunan sekitarnya di Rindermarkt. Cantik dan tertutup salju. Ada banyak hal yang cantik tapi udara dingin tak melulu menyenangkan bagiku.
"Kamu udah makan?" tanyaku.
"Belum. Mau makan? Aku tahu tempat makanan enak dekat—"
"Nggak. Ke apartemen aku aja, aku bisa masak kok."
"Oh, oke."
—
Setelah meluangkan waktu untuk membeli bahan makanan di supermarket, aku menenteng kantung berisi kentang, wortel, dan bawang bombay. Sedang laki-laki yang sedari tadi mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai halte membawa sekantung beras dan dada ayam. Di apartemenku aku masih memiliki sekurang-kurangnya tiga blok bumbu instan kari Jepang. Jadi, aku tidak perlu membelinya lagi untuk makan berdua. Bumbu-bumbu yang lain selalu aman di tempatku tinggal.
"Yang ini, kan?" tanyanya, melihat bus yang datang.
"Iya. Yuk," aku memegangi pergelangan tangannya, seakan ia akan menghilang kalau aku lepaskan. Dan sepertinya, ia tak keberatan sama sekali.
Saat kami duduk di bangku bus, ia menggenggam tanganku yang terbungkus sarung tangan dan memasukannya ke salam saku mantelnya.
"I saw you shivering a bit..."
Lalu, tanpa kusadari, aku merapatkan diriku padanya. Dan keheningan meliputi kami sepanjang perjalanan pulang.
─────
Unit apartemenku sempit. Dari pintu masuk, kamu akan menemukan lorong dengan rak sepatu dan gantungan mantel. Kemudian, sejalur dengan rak sepatu, lorong itu selesai dengan adanya lemari baju yang bersebelahan dengan lemari buku. Di lorong itu pula, di seberang benda-benda yang sejalur dengan rak sepatu, ada kamar mandi.
Setelah lorong, kamu dapat melihat jendela besar yang menghadap sebuah ruang. Ruang itu berisi meja belajar di sebelah kiri, sejalur dengan lemari dan menghadap tembok. Kamu dapat melihat pemandangan Munich kalau kamu menoleh ke kanan. Di belakang tempat belajar, ada tempat tidurku yang mungil. Di sampingnya ada kabinet kecil tempatku menaruh barang-barang yang tak bisa masuk kategori manapun di dua lemari lain. Lalu, di sebelahnya ada dapur.
Dan, di sanalah kami berada sekarang—walau sudah duduk di meja piknik-lipat berwarna putih yang aku dapat dari sumbangan orang-orang apartemen. (Jadi, dalam hal ini, kalau penghuni salah satu apartemen tidak memerlukan barang, mereka bisa meletakkannya di ruang khusus dan kalau beruntung, kamu bisa dapat furnitur bekas secara cuma-cuma). Kami sudah selesai memasak dan tinggal menunggu nasi matang.
"Maaf tadi aku kelupaan..." ia menunduk, menyesali kelakuannya melupakan untuk mengubah mode rice cooker dari warm (cooked) menjadi cooking.
Aku tertawa. "Nggak papa. Aku nggak selaper itu kok."
Dan, perutku berbunyi. Giliran ia yang tergelak.
"Oke, aku percaya," ujarnya, sedikit sarkas.
"Makasih ya udah bantu-bantu aku masak. Biasanya nggak akan secepat ini," ucapku, melayangkan senyum tulus.
"Padahal aku cuma bantu masak nasi sama motong bawang bombay... dan itu gak bener pula," ia nyengir.
"That's still helping, though?" aku mengerutkan keningku. "Maksudku, aku rasa kamu bukan tipe yang masak di tempatmu."
"Ya... benar," cengirannya melebar. "Yang masak Hansen. Dia pintar masak. Semua makanan yang dia masak pasti enak. Kamu harus coba kalau kamu mau."
"Boleh," aku manggut-manggut. "Dia yang anak Kedokteran, kan?"
"Iya. Dia anak Uni kamu."
"Rasanya pernah dengar dia di pembicaraan orang-orang."
"As they should."
"Kenapa?"
"Um... mysterious handsome loner?"
Aku nyaris tersedak ludahku sendiri. "Kamu tuh bisa aja nemu kata buat temen kamu sendiri..."
"Well, dia emang lebih suka sendiri ke mana-mana..."
"Sebenernya aku juga..." gumamku. Aku tak yakin ia mendengarnya.
"Embun, kamu main alat musik, nggak?" tanyanya yang kubalas dengan gelengan.
"Enggak. Dan aku juga nggak sebagus itu nyanyi. Kayaknya emang nggak dianugerahi bakat musik."
"Ah, sori. Aku kepikiran waktu kita jalan-jalan ke Olympiapark Studentenwohnheim* playlist kamu yang kita dengerin bareng-bareng bagus semua." (* Student village di Olympiapark)
"Yah... aku cuma casual listener aja. Dan suka nyasar waktu nyari lagu dan nemu yang bagus," aku nyengir. "Lagian... kayaknya genre lagu-lagu yang aku dengerin gak jauh beda. Kalau kamu, tulis lagu juga, nggak, Ji?"
"Iya. Kapan-kapan aku kasih dengar ke kamu kalau mau."
"Wah... such an honor."
Lalu, ia berseru senang saat penanak nasi menunjukkan bahwa nasi sudah matang.
─────
notes:
Jadii, gimana menurut kamu cerita ini? It's still half way to go, though! Bear with me please <333