(4)
─────
Ada kegiatan yang dilontarkan olehnya pagi-pagi sekali saat aku terbangun. Ia menelepon pagi buta pada hari Sabtu, memaksaku untuk membuka mata sebelum waktunya.
"Ji... kenapa?"
"Anak-anak tempatku ada kegiatan nanti sore," ia menginfokan.
"Oke?" aku menguap. "Aku harus gimana?"
"Oh, sori. Jadi ada nobar kecil-kecilan film pendek yang dikerjain anak-anak LMU."
"Loh tapi nontonnya di kampus kamu?"
Ia tertawa. "Enggak. Ada yang baik hati minjemin rumahnya."
"Anak lokal?"
"Iya. Dia kasih dukungan besar buat orang-orang yang mau nonton film-film indie—dan legal."
"Oke. Aku tinggal datang aja, kan?"
"Sama aku aja."
"Oke. Teman-teman kamu ikut?"
"Sadly no. Tapi gapapa. I'm glad, lowkey..."
"Eh kok gitu?"
"No, nevermind. Nanti aku ke sana aja."
"Oke."
Aku tidak tahu harus bagaimana nanti. Jujur, aku bukan orang yang jago menonton film—entah apa maksudnya. Aku hanya menonton film saat aku ingin. Lalu, aku juga bukan penggiat seni pertunjukkan. Aku agak khawatir nanti dimintai pendapat atau apa...
"Ah bodo. Sekarang tidur lagi ajalah."
─────
Sebelum pergi ke rumah kenalannya itu, ia mengajakku sebentar mampir ke pinggiran Sungai Isar. Katanya, ia ingin melihat musim semi. Aku berujar padanya dengan agak heran,
"Kamu lima tahun di sini pasti udah pernah lihat musim semi," heranku. "Kan dari jendela juga bisa?"
"Beda," ia berkata, tenang. Ia memperhatikan arus sungai mengalir. "Aku sekarang lihatnya sama kamu dan di pinggir sungai."
"Oh... beda, ya?"
"Waktu itu aku lihat musim semi plus Sungai Isar sama Ijuy sama Hans. Kalau sekarang sama kamu," ia nyengir. "Bedalah!"
Aku terkekeh dan berkata, "Oke..."
"Menurut kamu, perform anak-anak semalem gimana?" tanyanya. Kurasakan udara sejuk musim semi mengenai kulitku.
"Hmmmm, keren? Kamu keren. Aku suka waktu kamu sendirian bawain lagu Isn't She Lovely," ujarku. Lalu aku tertawa sedikit setelah aku menambahkan, "Berasa buat aku."
"Emang buat kamu."
Tak ada satu detik aku langsung memandanginya dengan tatapam aneh—kaget dan bingung—seolah ia adalah makhluk asing dari luar angkasa. "Eum... okay."
Ia kemudian tertawa. "You look even more lovely when you're confused."
"Ji, yang serius ah," aku menabok bahunya salah tingkah. "Aku bingung beneran kalau kamu tingkahnya gini."
"Tingkah apa emangnya?"
"Ya... ya gitu...."
Ia beralih memandangi sungai lagi. "Aku serius. You're indeed lovely."
Kemudian, aku tak berani menanggapi lebih jauh. Aku takut aku menaruh harap lebih banyak dan pada akhirnya aku menanggung rasa sakitnya sendirian.
Setelahnya hening. Keheningan sering berada di antara kami. Terkadang, ia ada di sela-sela pergantian topik percakapan, terkadang memang hening saja. Geming yang tak membuatku tak nyaman. Dan aku selalu menyukai hal itu tentangnya.
Ji... if one day, if one day we're just ended up as friends, I hope I can find someone I can seek comfort to without even saying a word. Like this. Like you.
Bahuku sedikit menegang dan napasku tertahan sejenak saat ia meraih tanganku. Ini bukan kali pertama ia memegang tanganku tapi tetap saja rasanya berbeda. Ia pernah menggenggam tanganku saat kami turun dari trem natal tahun lalu. Itu pun kami memakai sarung tangan. Lalu, di bus saat menuju apartemenku. Memakai sarung tangan lagi. Terakhir saat ia selesai perform. Lagi-lagi, memakai sarung tangan—aku saja sih saat itu.
Kali ini, kedua tangan kami bebas dari sarung tangan. Dan perasaanku padanya berkembang menjadi sesuatu yang lain akhir-akhir ini. Dari dirinya yang sering menjadi temanku mengobrol baik melalui pesan teks maupun telepon, membantuku memburu buku di toko buku bekas (walaupun pada akhirnya bukunya ia pinjam terus), menemaniku tidur saat aku sedang takut sehabis menonton film horror bersamanya (yang ini bisa keduanya: secara fisik ia berada di apartemenku atau melalui telepon), bertukar cerita tentang hal yang tak ingin kami ceritakan (kisah-kisah memalukan hingga menyedihkan), membantuku memasak (walau ia hanya bagian potong-potong dan potongannya agak miring sana sini), sampai masih banyak lagi. Aku tidak tahu bagaimana orang lain diperlakukan sehingga aku selalu merasa perlakuannya padaku sedikit istimewa. Tapi... tapi aku takut ia hanya bersikap ramah.
"Embun."
"Ya?" tanyaku, agak kaku.
"Aku boleh genggam tanganmu, kan?"
Aku mengangguk kikuk. "Boleh..."
"Oke," ujarnya. Kemudian, dapat kulihat dari sudut mataku ia tersenyum lebar saat aku balas menggenggam tangannya.
"Aku nanti boleh mampir ke apartemen kamu bentar nggak buat numpang nugas?"
Karena toh ia sudah sering begitu karena katanya tempat ia tinggal agak berisik, aku mengiyakan. (Aku sebenarnya yakin ia yang paling berisik tapi tak apalah. Aku tak pernah keberatan ia berada di apartemen mungilku).
"Boleh. Kan udah sering juga, kan, Ji?"
"Hehe, seru aja minta izin dulu."
"Sehabis aku nugas, boleh gak kita masak-masak? Aku suka ngelihat kamu masak."
Aku... tidak tahu apa yang ia rencanakan.
"Boleh...."
"Besok Minggu boleh minta tolong ke kamu buat datang ke kafe A? Aku sama anak-anak manggung lagi, hehe."
"Boleh."
"Boleh nggak nanti habis aku pulang kamu telfon aku? Gantian temenin aku dong..."
Aku terkekeh. "Boleh..."
"Boleh gak aku kirim chat setiap hari?"
"Boleh, Ji..."
"Boleh gak masa peminjaman buku kamu yang itu diperpanjang?"
Kali ini, tawaku lebih lebar dari sebelumnya. "Iya, boleh."
"Boleh gak aku cium kamu?"
Tanpa sadar, nyaris seperti terbiasa, kata "boleh" terucap. Mataku melebar sesaat kemudian.
"Uh... maksudku—"
"Aku tunggu sampai lima," ia menatapku. "To take that back."
Hitung mundur.
Lima.
Aku tidak pernah suka hitung mundur. Jantungku berpacu lebih cepat dan aku menjadi panik karenanya. Aku tidak pernah berpikir jernih di detik-detik terakhir. Itulah mengapa aku tidak bersahabat dengan hitung mundur.
Empat.
Matanya. Matanya begitu teduh. Terkadang, terlihat seperti kelelahan. Tapi tetap ada yang menenangkan di baliknya.
Tiga.
Aduh, aku harus apa? Berkata ia tak boleh menciumku? Aku ingin juga tahu....
Dua.
Aku... aku tidak tahu harus apa.
Satu.
Dan hal yang kutahu selanjutnya adalah jemarinya menyentuh pipiku sejenak, lalu... ia menciumku.
─────
notes:
RIGHT so this is kind of PG-13 but anyway, how was your day? Since today is Independence Day, what are you doing to celebrate it? Me? Celebrating it with eating cakes—not strawverry ones tho—soalnya kakekku ikutan ultah hehe (sori tmi). And Guten Abend!