(6)
─────
Terkadang, aku tidak suka berada di posisi menjadi kekasih seseorang yang begitu dipuja banyak orang. Ia begitu banyak dibicarakan banyak orang dan tak jarang membawa-bawa namaku di dalamnya. Oh, tentu saja aku tahu aku memang pantas-pantas saja berada di sisi kekasihku sendiri. Namun, aku selalu saja mendengar ucapan ada yang lebih pantas dari aku dan itu membuatku jengkel. Aku jengkel karena aku mendadak meragukan diriku sendiri. Aku jengkel karena aku bisa melihat mengapa orang lain jauh lebih pantas. Aku jengkel karena aku mulai membanding-bandingkan diriku sendiri dengan orang lain.
Aku pernah suatu saat menceritakan keluh kesahku padanya dan malah berakhir dengan ia menceritakan asal-usul namanya. Hal itu jujur saja membuatku makin jengkel.
"Embun, kamu tahu nggak kenapa aku dipanggilnya Ji?" tanyanya.
"Ji, kita nggak lagi bicarain itu..."
Dan seakan tak mendengarku, ia melanjutkan, "Karena dulu aku waktu TK sama SD di sekolah inter terus semua orang panggil aku Jio instead of Gio. Terus kebawa waktu aku ke Medan dan semua orang malah panggil aku Jiji. Tapi jangan ditambahin K nanti aku sedih..."
"Ji, kita nggak lagi ngomongin itu!"
"Terus ibuku juga akhirnya manggil aku Ji deh. Dek Jiji. Kalau kakakku dia panggil Gio. Kalau ayahku, panggil aku Giovano lengkap. Kalau marah lebih lengkap lagi."
"JI!" aku membentaknya. Kemudian, aku merasakan air mata mengalir di pipiku.
"Embun," ia meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Ji, aku mau dengerin kamu cerita tentang masa kecil kamu tapi bukan sekarang... akhir-akhir ini aku takut banget," aku terisak.
"Embun..."
"Stop panggil namaku..."
"Aku panggil nama kamu karena itu berarti banyak buat aku," ia menatapku. "Embun. Aku denger nama kamu di mana-mana. Di buku yang ibuku bacain buat aku dulu waktu kecil, di buku pelajaranku, di novel-novel, di diri kamu."
Aku tetap mendengarkan meski aku tak paham dengan perkataannya. Betapa tak ada hubungannya namaku dengan semua ini.
"Embun, aku mau tanya sama kamu, kenapa kamu mikir ada yang lebih layak buat aku sayangi selain kamu?"
"Dia... dia deketin kamu dan dia jelas jauh lebih dari aku. Banyak orang, Ji, banyak orang bilang begitu. Banyak orang bilang kamu berubah karena kamu pacaran sama aku dan konotasinya sering negatif..."
"Kamu kenal dia? Yang deketin aku?"
"Kalau yang kamu maksud kenal luar dalam," aku menggeleng, "enggak."
"Aku kenal. Tapi aku nggak jatuh cinta sama dia. Aku jatuh cintanya sama kamu. Soal pantas gak pantas, aku yang nentuin buat diriku sendiri," tegasnya. "Aku yang hidup paling lama sama diriku sendiri, Mbun. Aku yang paling tahu siapa yang layak dan siapa yang aku sayangi dan siapa yang layak aku sayangi. Kamu layak dan aku sayang kamu, kamu layak aku sayangi, Embun."
Matanya terlalu teduh. Aku tidak suka. Aku tidak suka tenggelam di dalamnya. Aku tidak suka aku mengetahui aku begitu rapuh karenanya. Aku tidak suka menyayanginya sebegininya hingga hatiku terasa sakit.
"Kalau kamu banding-bandingin dirimu sendiri sama dia, kalau aku bilang kamu lebih dari itu semua, kamu percaya, kan? Karena aku percaya apa yang aku lihat, apa yang aku saksikan sendiri. Aku percaya diri aku benar. Aku nggak percaya diri cuma waktu ujian aja soalnya aku bisa di D.O kalau gagal, tapi jatuh cinta sama kamu bukan ujian akhir semester," ujarnya, membuatku tergelak di sela isak tangisku. Ia memelukku.