(5)
─────
Pelukannya mengerat. Aku selalu berterima kasih aku memilih Jerman sebagai tempat tujuanku menimba ilmu karena musim panasnya tidak sepanas itu. Rata-rata suhunya tak sampai 18 derajat celcius. Suhu tertinggi di Munich yang pernah aku alami kalau tidak salah adalah 24 derajat celcius. Di Indonesia, terutama tempat aku tinggal, 24 derajat celcius sudah termasuk dingin untuk pribadiku yang manja. Di sini, aku bersyukur 24 derajat muncul setidaknya sekali dalam setahun untuk memberikan rasa hangat bagi kulitku.
Dan astaga matahari. Matahari bersinar dalam durasi yang cukup panjang.
Walau sekarang matahari sudah terbenam sih.
"Ji, ini kasurku tuh sempit..." aku berusaha mendorongnya tanpa tenaga yang berarti.
"Bentar dulu aku mau nyoba peruntunganku ngerjain tugas dengan peluk kamu," ia menindihkan sebelah kakinya ke atas kakiku.
"Heh!"
"Embun, kamu tahu, kan, kalau aku sayang kamu?"
"Iya, and I love you too..."
"Oke, makasih infonya!" ia melepas pelukannya setelah mencium puncak kepalaku. "Aku mau nugas sekarang!"
"Kamu mau aku bikinin teh nggak?" tanyaku, beranjak dari kasurku.
"Mau teh susu dong, hehe," ia nyengir, duduk di karpet menghadap laptopnya.
"Oke," aku berjalan ke dapur untuk membuat teh—untukku sendiri dan untuknya.
"Embun, kamu ada jelly gak?"
"Di laci belakangmu tuh ada," timpalku.
"Oke."
Aku memanaskan air dengan pemanas listrik yang kubeli beberapa waktu lalu bersamanya. Pemanasku yang lama rusak dan seseorang yang sedang duduk—mulai mengerjakan apapun yang tak ia mulai-mulai dari tadi itu—tak bisa memperbaikinya lagi kali ini. Jadi, yah... terpaksa aku membeli lagi.
Mengambil gula, kumasukkan gula sesuai takarannya yang biasa ke satu gelas dan membiarkan gelas yang lain tak terisi gula sama sekali. Aku sedang ingin meminum teh tawar entah kenapa.
Aku mengerling laki-laki yang sedang berkutat dengan pekerjaannya itu dalam diam. Tak pernah sekalipun aku lelah memandangi wajahnya, jujur saja. Matanya, hidungnya, bibirnya, rahangnya, alisnya, semuanya. Dan profil sampingnya selalu berhasil membuatku tenang dan gaduh di saat yang sama. Ia membuatku merasa egois tanpa kusadari.
Membawa teh ke meja yang ia gunakan, aku duduk di sampingnya sembari meminum tehku sendiri. Keheningan ada di antara kita berdua setelahnya. Hanya ada aku dan dirinya dan suara-suara di dalam apartemen mungil ini.
Saat aku sudah selesai meminum tehku dan menaruh gelasnya di meja piknik putih, aku pamit ke kamar mandi untuk bersiap tidur. Rasanya aku ngantuk sekali malam ini.
Namun, ketika aku melihatnya lagi, terkena temaram lampu belajar, aku malah memilih untuk menyandarkan kepalaku di bahunya, mencari harum tubuhnya. Ia mengusap rambutku.
"Aku nggak paham," tuturku, memperhatikan layar laptopnya.
"Hm?"
"Sama yang kamu kerjain..."
Ia tertawa. "Nggak papa. Aku juga sama nggak pahamnya."
"Heh... terus gimana kamu ngerjainnya?"
"Pakai hoki," kelakarnya. Ia memperhatikanku kemudian. Kecupannya di bibirku setelahnya membuatku semakin tak ingin jauh-jauh darinya. Ia menepuk pahanya. "Sini tiduran aja."
"Oke."
Dan, seolah sudah melalui serangkaian peristiwa panjang—memandangi kolong meja dan lemari bukuku di ujung sana—aku tertidur, di pangkuannya. Dan aku tak tahu apa yang terjadi keesokan harinya.
─────
"Aku lagi ada di padang mahsyar ya?"
Adalah apa yang aku dengar setelah aku menyibak gorden. Matahari memang bersinar terang hari ini dan kebetulan, jendelaku besar dan menghadap timur.
Oh ya, semalam, laki-laki yang kini sedang tidur di kasur lipatnya itu memindahkanku ke kasur. Aku tidak tahu bagaimana pastinya, yang jelas aku bangun di kasurku.
"Udah pagi," ucapku, menggoyangkan tubuhnya pelan.
Ia lantas menyembunyikan wajahnya di balik selimut. "Nggaaaak, aku bukan morning person."
"Hey, ayooo bangun..."
Dan aku kemudian terkikik saat ia menarikku dan mengunci badanku dalam dekapannya. Hal itu tak berlangsung lama karena ia tetap terganggu dengan matahari.
"Aduuuuuh, kamar kamu waktu summer gak ramah banget ke aku. Bintang satu," ia bangkit dari tidurnya dan, dengan agak sempoyongan khas orang bangun tidur, ia menghilang ke kamar mandi.
Aku ikut beranjak untuk membereskan kasur lipat ini dan berjingkat ke dapur. Setelah menakar beras dan mencucinya, aku kemudian memasukkan beras-beras itu ke penanak nasi—dan tidak seperti dirinya, aku menyalakan mode yang benar. Ketika aku melihat isi kulkas, dengan sisa bahan yang ada, aku mulai memasak sup ayam. Yah... aku bukan ahlinya jadi semoga setidaknya bisa ditelan.
Aku merasakan seseorang sedang di belakangku saat aku sedang memasukkan bahan-bahan ke dalam panci. Ia menciumku sekilas sebelum berceloteh ria. Ia membicarakan banyak hal tentang keinginannya membeli gitar, kegiatannya di kampus, berburu baju di _thrift store_ bersama dengan Julian dan Ade, dan masih banyak lagi. Selain itu, ia juga bercerita soal tujuh belasan yang direncanakan anak-anak Indonesia di sini.
"Wah, kamu mau ikutan?" tanyaku.
"Kalau lomba makan kerupuknya dikasih nasi aku mau ikut," celetuknya membuatku tergelak. Ia menyebalkan sekali.
"Ada-ada aja," balasku. "Atau kita bawa sendiri aja?"
Giliran ia yang tertawa. "Boleh juga gitu."
"Kamu mungkin diminta buat manggung sama temen-temen," ucapku. "Kan kalian sekarang udah tenar nih di mana-mana."
"Amiiiiin," ia mengamini.
"Kamu emang udah terkenal."
Kemudian, ia tak menanggapi ucapanku barusan dan malah berceletuk, "Kamu tahu gak sih di gedung Informatik dan Matematik di TUM ada perosotannya?"
"Itu beneran?"
"Beneran," ia mengangguk. "Hari ini aku giliran jaga perosotannya."
"Hah?"
"Hari ini aku giliran jaga perosotannya," ulangnya. "Kamu mau coba, nggak?"
"Boleh?"
"Boleh tapi kamu harus pura-pura jadi anak jurusanku," ia berkata. "Kamu harus kelihatan nolep dan tertekan dan pemalas. Pemalas ini penting banget soalnya kalau kamu gak malas, kamu gak akan mau naik perosotan buat turun dan milih tangga aja."
Aku tertawa.
"Bercanda. Boleh kok buat anak rajin juga," ia mengusap rambutku. "Tapi keamanan ditanggung sendiri ya."
"Heeeeeh!"
Ia tertawa. "Bercandaaaaaa."
"Boleh deh, sekalian aku lihat gedung jurusan kamu."
"Kamu pasti nanti berpikir bagusan gedung lain tapi yang penting gedung jurusanku ada perosotannya!" ujarnya bangga. "Dan bisa dinaikin!"
"Iya, Jiiii," aku tertawa. "Iya. Nanti aku coba."
"Oke," ia tersenyum lebar.
─────
notes:
video perosotan di kampus cwk-nya embun!