bonus: 1
─────
Ada banyak dedaunan berjatuhan di luar sana. Sejujurnya aku ingin sekali keluar dari apartemen mungil ini dan berkeliaran di mana-mana selepas kelas. Namun, perut dan punggung bawahku terasa sakit sekali. Dan, obat penahan rasa sakitku habis sedang teman-temanku tak bisa dihubungi sama sekali—mereka masih berada di kelas yang tak kuambil mata kuliahnya.
Jadi, aku akhirnya menelepon seseorang yang semoga saja tidak sibuk-sibuk amat. Aku tadi sudah mengecek jadwal kuliahnya yang ia kirim tempo hari. Seharusnya sih sekarang sudah selesai.
"Mbun, kenapa?"
Aku mengerang pelan. Sejujurnya aku sedang malas sekali untuk berbicara. "Sakit..."
"Eh, sakit apa?"
"Perutku."
"Kamu menstruasi?" tanyanya yang kujawab dengan "iya" yang pelan. "Ada pereda sakit?"
"Enggak. Udah habis, Ji..."
"Aku udah selesai kelas. Aku ke sana aja. Sekarang kamu di apart kamu, kan?"
"Iya."
Aku menelungkupkan wajahku di bantal. Perutku sakit sekali rasanya. Hari kedua selalu buruk dan kebetulan tugasku sedang banyak-banyaknya. Aku benci sekali mengatakan ini, tapi kenapa sih tugasnya tidak diberikan saat aku tidak sedang datang bulan? (Aku benci mengatakannya karena lebih baik tidak ada tugas sama sekali).
Sepuluh menit, dua puluh, tiga puluh, empat puluh. Waktu berlalu dan laki-laki bernama Gio itu belum datang. Padahal gedung apartemenku tidak jauh dari kampusku dan kampusnya—pas di tengah, walau kalau kupikir ulang, memang agak jauh dari kampusnya.
"Oke, tenang, Embun. Cuma sakit perut. Kamu dapat ini tiap bulan."
Ketika aku sedang mencoba mensugestikan diri agar tenang, bel apartemenku berbunyi. Kuhela napasku dalam-dalam dan berjalan ke pintu. Saat penutup lubang intip kubuka, aku dapat melihat sosok laki-laki yang sudah berbulan-bulan ini menjadi kekasihku itu sedang berdiri membawa sebuah kantung di tangannya.
"Hai," aku menyapanya dengan suara yang lemah setelah pintu terbuka.
"Kamu tiduran aja," ia merangkulku dan membawaku untuk merebahkan diri di kasur. "Aku beli nasi goreng. Kamu mau?"
Aku mengangguk. "Mau. Kamu beli juga?"
"Beli," jawabnya sambil nyengir. Ia berjalan ke dapur dan mengambil dua piring serta sendok seakan rumahnya sendiri. "Aku tahu kamu pasti mau. Jadi, aku beli dua."
"Kalau aku gak mau? Kamu makan dua?"
Ia menggeleng. "Ya buat orang rumah dong. Atau Julian aja deh. Dia kemarin baik banget ke aku bantuin cari jurnal."
"Oh iya ya..."
"Meja pendek kamu di mana, Mbun?" tanyanya, mencari-cari ke setiap sudut apartemen mungil ini.
"Di deket le—"
"EH udah ketemu!" ia berseru, memotong ucapanku barusan. Ia kemudian mengangkat meja lipat yang biasa ia gunakan ke dekat kasurku yang super nyaman ini. "Duduk bentar gak papa, kan?"
"Gak papa. Sebenernya sakitnya juga kayak dulu-dulu. Cuma lagi manja aja..."
Ia malah terkekeh. "Manja aja sama aku."
Sebelum aku menyadarinya, ia mencium pipiku sekilas. "Yuk makan."
─────
Aku tertidur. Setelah meminum obat, aku ingat Gio menyuruhku untuk tidur.