Ana memicingkan kedua mata menyadari seseorang tengah memerhatikan dirinya dari salah satu jendela yang ada di atas sana.
Bukannya menjauh, kakinya semakin bergerak semakin maju hingga masuk ke wilayah kediaman terlarang baginya. Begitu penasaran dengan sosok yang dilihatnya sekilas di jendela lantai dua bangunan kastil tersebut.
Sepasang bola mata berwarna cokelat bening miliknya menatap lurus ke satu titik, memandang lamat-lamat seseorang yang sepertinya bersembunyi di balik tirai.
Saat ia semakin mendekat ke bangunan tersebut, tiba-tiba dilihatnya siluet tubuh mirip sekretaris Henry pada jendela yang dipandangi. Sontak membuatnya berlari cepat dan berjongkok bersembunyi dibalik tanaman boxwood yang tumbuh membentang menghiasi pinggiran taman.
Ana menggigiti ujung-ujung jari. Merasa panik setengah mati. Takut-takut ketahuan oleh sekretaris Henry.
Setelah beberapa saat menunggu, perlahan-lahan kepalanya terangkat dan mengintip dari balik ranting.
Begitu merasa aman, gadis itu lalu merangkak di rerumputan dan perlahan-lahan menjauh dari taman yang sialnya malah membuatnya semakin masuk ke bagian selasar kastil itu. Ana semakin panik. Kepalanya menoleh ke kanan kiri mencari jalan keluar. Peluh sebesar biji jagung mulai memenuhi pelipisnya.
"Astaga, bagaimana ini?" Menggigiti bibir bawahnya seraya berputar-putar mencari arah yang benar.
"Aku harus ke arah kanan atau kiri?"
Tanpa banyak membuang waktu, ia memutuskan untuk berlari ke arah kanan. Mengikuti arah angin berembus, karena seingatnya ia tadi berjalan melawan arah angin. Jadi kemungkinan untuk kembali ke mansion para pelayan adalah mengikuti arah angin.
Agar tak menimbulkan suara langkah, Ana melepaskan sepasang sepatu pentofel putih dari kedua kaki lalu, berlari dengan memegangi sepatu di kedua tangan. Terus berlari dengan kepala yang sesekali menoleh ke belakang. Sampai pada belokan yang entah menuju kemana, tubuhnya menubruk sesuatu yang keras. Ana terjengkang dan terhuyung karena kehilangan keseimbangan.
BRUKKK'
Tubuh kurusnya terjerembab ke lantai marmer yang dingin dan keras. Sepasang sepatu yang dipegang pun terlempar beberapa meter ke belakang.
Mulutnya reflek mengaduh dan meringis kesakitan sembari mengusap-usap pinggul. Namun sepersekian detik berikutnya, Ana seolah menahan napas begitu melihat sepasang sepatu kulit berwarna cokelat mengkilap terpampang di depan mata. Ana menelan ludah kasar. Perlahan-lahan matanya bergerak naik menyusuri kaki panjang berbalut celana bahan dipadukan atasan kemeja berwarna putih polos. Begitu matanya menangkap tampilan wajah orang itu, Ana kembali menelan ludah.
Untuk sesaat pandangannya terpaku di tempat, seolah waktu terhenti begitu saja. Lelaki tampan dengan bola mata biru gelap layaknya batu safir yang menawan itu mampu membuatnya membeku.
"Apa saya sudah berada di surga?" lirihnya, bertanya tanpa sadar.
"Nona, anda baik-baik saja?" Lelaki itu membungkukkan tubuh seraya menjulurkan tangan kanan kehadapan Ana yang masih terduduk di lantai.
Ana tersentak, dengan cepat menguasai diri dan menjaga pandangan. "Ah, ma-maaf tadi saya ... saya tak sengaja menabrak Anda, Tuan," ucapnya tergagap dan memandang tangan besar lelaki itu yang masih menggantung di udara.
Dengan ragu dan gerakan canggung Ana menerima uluran tangan lelaki itu.
"Tak apa, Nona. Saya juga tidak memerhatikan jalan di depan saya." Berucap sambil membantu Ana bangkit berdiri. "Apa ada yang terluka?"
"Ha?" Ana yang salah tingkah menggeleng cepat. "Sa-saya baik-baik saja. Hmm, maaf saya harus kembali secepatnya." Ana membungkuk hormat, berbalik dan hendak kembali berlari. Namun lelaki itu mencegat dengan menarik tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Psychopath Love
RomanceAnastasia Eleonore, Seorang pengasuh anak kebutuhan khusus yang menerima tawaran bekerja sebagai pengasuh dari Tuan Muda di kediaman keluarga De Lavigne yang merupakan bangsawan Perancis. Akan tetapi, Tuan muda yang diasuh tidak seperti apa yang An...