Sign The Agreement

11K 775 45
                                    

Waktu bergulir cepat. Tak terasa seminggu telah terlewat begitu saja, dan Ana masih setia dan bertahan membuatkan sarapan, makan siang serta makan malam selama seminggu penuh tanpa ada kendala. Tampaknya Tuan Muda betul-betul menerima hasil masakan darinya.

Selama seminggu itu pula tak ada lagi kejadian aneh atau apa pun itu yang dialami oleh Ana. Bahkan kejadian mencekam yang dianggapnya mimpi buruk pada malam itu sudah tak lagi berbekas dalam ingatan. Kehidupan seminggu yang benar-benar begitu tentram dan nyaman dirasakannya.

Dan sesuai perkataan Tuan Henry, Ana yang sanggup bertahan selama seminggu akhirnya siang ini dipersilahkan untuk mendatangani kontrak perjanjian kerja selama setahun di kediaman Lavigne dengan upah kerja yang sangat besar.

"Suster Ana." Suara wanita tua yang memanggil Ana dari celah jendela pantry yang terbuka,  mengurungkan langkah Ana sejenak. Ana berbalik dan menghampiri wanita tua itu.

"Iya bibi Marie, ada apa?"

"Bisa bicara sebentar?" tanyanya takut-takut. Wanita paruh baya itu mengetahui jika Ana akan menandatangani perjanjian kerja siang ini.

"Maaf, Bibi Marie, saya terburu-buru. Saya akan menemui sekretaris Henry, beliau sedang menunggu saya di ruang kerjanya."

"Hanya sebentar, sebentar saja." Bibi Marie tampak memelas.

Kening Ana mengerut. "Apa ada hal yang penting?"

Di balik jendela, bibi Marie bergerak gelisah. Melihat itu Ana melangkah memasuki pantry dan langsung mendekat kepada bibi Marie.

"Ada apa bibi Marie? Apa ada yang bisa saya bantu?"

Mata bibi Marie melirik mengawasi sekitar. Meraih tangan Ana dan sedikit meremasnya. Terdiam beberapa saat memandangi wajah Ana kemudian menghela napas berat. "Sebaiknya Nona Ana segera pergi dari sini."

Kening Ana semakin mengerut dalam. "Kenapa? Kenapa saya harus pergi? Bibi Marie tak senang saya berada di sini?"

"Bu-kan seperti itu ...!" Kembali mata Bibi Marie bergerak liat mengawasi keadaan sekitar. Bulir-bulir keringat berjatuhan dari pori-pori kulit tuanya yang sudah mengerut.

"Bibi Marie baik-baik saja?"

Mata Bibi Marie kembali fokus memandangi wajah Ana. Terdiam beberapa saat lamanya sebelum akhirnya menghela napas berat. "Suster yakin ingin bekerja di sini?" tanyanya pelan-pelan.

Ana mengangguk cepat. "Tentu saja Bibi Marie. Apa ada alasan untuk saya menolak?"

Tubuh bibi Marie semakin mendekat dan merapat pada Ana. "Apa ..." Menjeda ucapan dengan kembali menoleh kesana kemari. Menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri bertanya. "Apa suster Ana tak takut pada Tuan Muda?" tanyanya berbisik hingga nyaris tak kedengaran.

Ana tersenyum dan menggeleng. "Kenapa saya harus takut? Tuan muda hanyalah anak kecil yang butuh perhatian lebih. Saya sudah menyayanginya bahkan sebelum melihatnya."

"Itu karena ... karena ...," ucapan bibi Marie terhenti dan akhirnya menelan ludah dengan kasar, disusul kepala yang menggeleng pelan. Sepertinya wanita tua itu tak memiliki keberanian lebih untuk mengungkapkan lebih lanjut. "Ti-tidak, tidak apa-apa," lanjutnya dengan tubuh yang sedikit gemetaran.

Alis Ana mengernyit heran. Meraih tangan bibi Marie dan menggenggamnya, namun terkejut saat merasakan suhu di tangan ahli memasak itu terasa dingin. "Astaga, mengapa tangan bibi Marie sedingin es? Apa bibi Marie sedang sakit?" Ana bertanya seraya menelisik wajah yang sudah dipenuhi kerutan itu tampak memucat.

"Siapa yang sakit?" Paman Theo tiba-tiba muncul dari ambang pintu, menginterupsi percakapan keduanya.

"Ah, ti-tidak. Saya baik-baik saja. Oh, iya. Maaf sudah mengganggu waktu suster Ana. Suster Ana bisa segera ke ruangan sekretaris Henry. Jangan membuat beliau menunggu terlalu lama." Bibi Marie melepaskan tangan dari genggaman Ana dan segera mendorong tubuh kurus gadis itu agar segera beranjak dari sana.

The Psychopath LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang