Kalani melangkah gontai di koriodor sekolah pagi ini. Bukan karena dia kelelahan. Melainkan menahan nyeri di kaki kirinya yang masih terasa hingga kini. Bebat perbannya bahkan belum dilepas. Sehingga sepatu Kalani yang biasa terasa pas, malah sangat sesak jadinya.
Bisa saja cewek itu mengenakan sandal gunung atau selopnya. Namun siapa yang akan memaklumi hal itu? Bahkan Pak Ridwan yang menangani bagian kedisiplinan pun akan tetap menjatuhkan sangsi kepada Kalani tanpa peduli kondisi kakinya.
"Mau minggat, Lan?" tanya Ambar ketika bertemu dengan Kalani di koridor yang menghubungkan sekolah dengan area parkir. Cewek itu baru tiba bersama Reva. Mereka selalu berangkat bersama karena lokasi rumahnya searah.
"Atau diusir sama Ibu?" timpal Reva yang ikut menjajari langkah cewek berambut sepunggung tersebut.
Kalani cuma mengerucutkan bibir saat kedua temannya tertawa. Terang saja mereka beranggapan demikian. Kalani berangkat sekolah dengan gembolan penuh di punggungnya. Ransel ukuran 20 liter berisi pakaian ganti, makanan instan, selimut, keperluan perempuan, hingga obat-obatan lengkap. Bahkan Ibu memaksa untuk membawa kompres untuk berjaga-jaga jika nyeri di kakinya kambuh.
"LDKS cuma dua hari dua malam. Bawaan udah kayak mau tinggal di sini selamanya aja," ledek Ambar.
Kalani mencebik kesal pada cewek berambut sebahu tersebut. Untung teman. Jika tidak, ransel di punggung Kalani mungkin sudah mengayun ke wajahnya. Seperti yang dikatakan Ambar. Hari ini dan besok, para anggota OSIS terpilih wajib mengikuti LDKS (Latihan dasar Kepemimpinan Siswa) yang dilanjut dengan malam pengukuhan.
"Ini tuh Ibu yang kemasin. Kalau aku, ya nggak mungkin lah bawa segini banyak," kilah Kalani.
"Kaki kamu udah baikan, Lan?" tanya Reva sambil menunduk melihat kaki Kalani.
"Ya belum. Baru berapa hari, Rev. Masih bengkak, tuh. Kudu pakai perban lagi," keluh Kalani sambil menunjukkan pergelangan kaki kirinya yang dibebat perban elastis.
"Lha terus ngapain ikut LDKS segala? Emang nggak bisa izin?" tanya Reva lagi.
"Ya bisa. Tapi nggak enak lah. Masa nggak ikut, sih? Nanti kalau aku batal jadi anggota OSIS gimana?" cemas Kalani.
"Batal jadi anggota OSIS nggak berarti kiamat, Non," sahut Ambar malas. "Khawatirnya kalau nanti cedera kamu tambah parah, gimana? Mana LDKS tuh banyak kegiatan, lho. Ada latihan fisik sama jurit malam segala."
Ucapan Ambar membuat Kalani memikirkan keputusannya. Apa benar tidak apa-apa? Sebenarnya LDKS bukan kegiatan asing bagi Kalani. Sewaktu masih SMP, dia pernah mengikuti kegiatan serupa karena juga aktif di OSIS.
Hanya saja, saat itu dirinya tidak dalam kondisi cedera dan bisa mengikuti semua kegiatan dengan lancar. Kalau saat ini melihat keadaan kakinya yang masih bengkak dan terasa nyeri setiap dipakai melangkah, rasanya Kalani akan duduk sepanjang hari.
Ketiga cewek tersebut hampir menaiki tangga menuju kelas saat seseorang memanggil, "Kalani?"
Kalani memutar tubuh diikuti Ambar dan Reva. Ketiganya langsung membulatkan mata masing-masing melihat si pemanggil yang menghampiri mereka. Seorang cowok berkulit eksotis mengangkat tangan untuk menyapa seraya menyunggingkan senyum yang menimbulkan lesung di kedua pipinya.
"Cowok kalau punya dekik*) kenapa bikin jantung jadi mak tratap gini, sih?" gumam Ambar yang membuat Reva menahan senyum.
"Hai," sapa cowok tersebut pada Kalani.
"H-hai, Kak Ibas," gugup Kalani. Tidak menyangka bisa bertemu Baskara sepagi ini.
"Udah baikan?" tanya Baskara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADMIRER (SELESAI)
Teen FictionSejak menjadi murid di SMA Sarasvati, Kalani sudah mengagumi Baskara, kakak kelas satu tingkat di atasnya. Rasa kagumnya bertambah bahkan berubah menjadi suka saat Baskara menolong Kalani yang terpeleset di tangga sekolah. Sayangnya Baskara sedang...