46. DON'T GIVE UP

7.4K 650 11
                                    

'Jatuh cinta adalah hal yang indah. Tapi cinta bisa membuatmu jatuh kapan saja.'

-VAREZO-

Tak terasa sudah seminggu Varezo di rawat di rumah sakit. Kondisi laki-laki itu juga kini mulai membaik. Luka-luka di bagian wajah kian mengering dan tangan kanan yang tidak sebengkak dulu.

Diatas brankar Varezo duduk, beberapa kali meringis kesakitan saat dokter Antonio membersihkan luka di bagian kepala yang terdapat jahitan disana. Beberapa menit kemudian, luka jahitan itu kembali di tutup dengan perban.

"Hari ini kamu sudah di perbolehkan untuk pulang, dengan syarat harus rutin meminum obat dan tidak melakukan aktivitas terlalu berat sampai luka jahitan dikepala kamu mengering sempurna."

"Baik, dok, terimakasih. Emm! Kalau boleh tau, kapan ingatan saya kembali?" tanya Varezo.

"Itu semua tergantung lingkungan kamu. Mungkin jika kamu pergi ke tempat yang istimewa akan mengembalikan ingatan kamu sedikit demi sedikit. Yang jelas amnesia itu tidak bersifat permanen jadi, ada peluang untuk mengingat semua memori yang sudah di lupakan. Banyak berdoa saja."

Varezo mengangguk mengerti. Setelah itu dokter Antonio pamit bersama suster yang tadi sibuk merapikan alat-alat medis.

"Mungkin bisa nyuruh Geby buat bantu gue pergi ke tempat yang sering gue kunjungi dulu. Biar nih ingatan kembali lagi." Varezo bermonolog sambil bercermin pada layar ponsel.

Tidak lama kemudian pintu terbuka bersamaan dengan munculnya dua orang yang katanya adalah ayah dan istrinya.

"Anak ganteng ayah sekarang udah bisa pulang!" kata Septian. "Ayo beres-beres, setelah itu ayah antar."

"Antar kemana?"

"Kerumah kita." Geby menimpali dengan senyuman manis.

Varezo membalas senyuman itu terpaksa, menghargai. Lalu turun dari atas brankar berniat untuk mengemasi pakaian yang selama seminggu ini dia gunakan. Namun, aksi laki-laki itu terhenti saat Geby mengambil alih pekerjaannya.

"Kamu harus banyak istirahat. Urusan kek gini biar aku aja yang beresin," ucapnya. Dengan rapi perempuan itu memasukkan satu-persatu pakaian suaminya ke dalam tas.

"Makasih!" tidak sopan juga jika dia tidak berterima kasih kepada perempuan itu.

"Tidak usah canggung seperti itu. Dia istri kamu, kalian menikah sudah beberapa bulan lalu. Sejak umurmu delapan belas tahun, dan kini umurmu sudah sembilan belas," bisik Septian yang berdiri di samping anaknya.

"Kapan ulang tahunku? Kenapa tidak ada satupun orang yang memberikan kue ataupun kado?" Varezo bertanya lirih.

"Apa kau mau? Bukankah kau sudah berbulu. Kenapa sangat mengharapkan kue dan kado?" tukas Septian terdengar ambigu.

"Apa kau benar ayahku? Kenapa mulutmu sangat kotor, tua bangka?"

Septian menjauhkan diri dari Varezo. "Kenapa terlalu baku? Ini jaman modern, cobalah bicara pakai 'lo-gue' ...."

"Tahun berapa ini?"

"2018. Sebentar lagi masuk 2019."

"Berapa umur ayah?"

"37. Kenapa bertanya tentang umur?"

"Bukannya itu sudah, tua? Terus kalau Varezo pakai logat modern pada orang yang umurnya jauh berbeda apakah itu sopan?"

Septian berdecih sinis. "Terserah."

Geby yang sedari tadi menyimak, menghela nafas. Anak dan bapak itu memang tidak pernah akur, bahkan Varezo kehilangan ingatan mereka tetap tidak bisa akur.

VAREZO [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang