16

1 1 0
                                    

Didi dan aku sudah kembali ke rumah Didi. Masing-masing dari kami membawa plastik berisi bungkusan nasi goreng.

Kevin membuka pintu duluan sebelum kami masuk. Dia hanya menunduk melihat adiknya mengangkat dua bungkus nasi goreng untuk mereka, sebelum membiarkannya masuk ke dalam rumah. Namun, ketika aku hendak masuk juga, tiba-tiba dia mencegatku.

"Eh, lu makan sendiri, kan?"

"Uh ... ya."

Kevin tiba-tiba memalingkan muka dari hadapanku. "Jangan makan bareng kami."

"Ke ... ke-kenapa?"

"Makan aja di luar."

"T-tapi karena apa?"

Pintu itu hampir tertutup olehnya. "Gua enggak bisa lagi percayain adik gua sama orang asing kayak lu. Lebih baik lu segera pulang, sebelum gua usir lu pakai cara kasar."

Kemudian, pintu itu langsung ditutup. Aku membeku di depan pintu itu, bingung, kaget, sedih dan juga kesal karena perlakuannya terhadapku.

Jujur, aku sadar betul bahwa aku adalah orang asing bagi mereka, dan aku hanya baru berkomunikasi dengan Didi hari ini. Namun, sikapnya Kevin yang tiba-tiba mengusirku begitu saja tidak bisa kuterima. Sebesar itukah rasa curiganya terhadapku? Memang kejahatan apa yang sudah kuperbuat terhadap Didi?

Namun, anehnya lagi, bocah berkacamata itu sendiri tidak keluar sama sekali untuk menyanggah abangnya. Apa Didi sudah terbiasa dikurung oleh orang dingin dan overprotektif seperti Kevin? Kalau betul seperti ini kondisinya, lebih baik aku tidak berkomunikasi dengan Didi untuk sementara waktu.

Aku memutuskan untuk langsung pulang saja. Namun, ketika aku berbalik dan hendak berjalan, tampak seorang wanita paruh baya di depan pagar. Wanita itu berkacamata, memakai pakaian seperti karyawan kantoran, dan membawa sebuah tas selendang. Tunggu ... itu mamanya Didi, bukan?

"Didi ... Kevin ...." Suara mama mereka lumayan kencang, tetapi nadanya sangat lirih. Dalam dua kata itu saja terdeteksi rasa gelisah dan lelah yang mendalam, seperti ketika beliau menyuruhku menjaga Didi waktu itu. Tidak tega, aku hendak mendatangi beliau. Namun, pintu tiba-tiba terbuka kembali, dan Kevin berlari menghampiri sang mama.

"Ma, kok pulang lebih awal, sih?" tanya Kevin yang terdengar seperti sebuah protes. Namun, mamanya tidak menjawab, dan tiba-tiba malah terjatuh, sempoyongan, seperti hampir pingsan.

"Ma? Ma! Didi, bantuin Abang angkat Mama!"

Didi seketika keluar dan membantu abangnya mengangkat mama mereka, perlahan-lahan membawa beliau ke kursi di teras. Aku hanya bisa bergeser dari posisiku dan melihat beliau perlahan-lahan kembali mengumpulkan kesadarannya. Ah, andaikan anak sulung beliau tadi tisak mengusirku, pasti aku juga sudah bertindak. Namun, entah apa yang akan dia perbuat bila aku tidak diam saja seperti orang asing ....

"E-eh ... k-kamu ...." Mamanya Didi tiba-tiba menunjuk tangannya kepadaku dan menaikkan kepalanya, menatapku yang hendak pergi. "A-anu, Dek. Sepertinya ... kapan kita pernah bertemu, ya, Dek?"

Aku terjebak di posisi yang canggung sekarang. Kevin, yang berada di sebelah kiri ibunya, masih tampak geram kepadaku. Namun, demi menjaga kesopanan, terpaksa kujawab, "Di ... di Perpustakaan Kota, Bu. Ya, betul, di situ kita bertemu, Bu."

"Oh ... betul ...." Mama mereka kemudian sebuah botol air mineral dari tasnya. Setelah meneguk air, beliau membetulkan posisi kacamatanya untuk mengidentifikasi diriku lebih jelas. "Sebelumnya, terima kasih banyak, ya, Dek, sudah jaga Didi waktu itu. Tapi, kenapa kamu ada di sini? Apa kamu udah berteman sama Didi?"

Mendengar itu, aku hendak menjawab segamblangnya. Namun, tatapan dingin Kevin membuatku bungkam, seolah mengisyaratkanku untuk diam saja. Aku jadi tidak tahu harus merangkai jawaban seperti apa. Kenapa mama mereka harus menanya-nanyaiku seperti ini?

"Kami sempat ngobrol waktu itu di perpustakaan, Ma. Aku sendiri yang ajak kakak ini untuk datang ke rumah kita."

Aku terkejut akan jawaban gamblang Didi. Kevin pun juga tidak menyangka respons itu.

"Oh, jadi, ini teman baru kamu, Didi?"

Didi mengangguk. Seuntai senyum, ya, senyum yang benar-benar melengkung, terlihat di muka anak lelaki yang biasanya selalu datar.

"Ya, Ma. Kita akan mencari malaikat sama-sama. Malaikat yang sudah menyelamatkan aku dan Mama waktu itu. Mama masih ingat, bukan, dengan pria yang menyelamatkan Mama dari preman di dalam kereta itu?"

Sontak, beliau termenung, tampak berpikir keras. Sementara itu, Didi menoleh kepadaku dengan penuh keyakinan, dan Kevin menggigit lidah, bermaksud hendak menyela tetapi tidak mendapatkan kesempatannya.

"Ya ... Mama ingat," jawab mamanya pelan setelah sejenak. "Ke mana pria itu, ya, Di?"

Didi menoleh lagi kepadaku. "Sepertinya Kakak itu tahu."

Aku jadi gugup setengah mati. Bagaimana ini bisa terjadi? Padahal, seingatku, aku hanya menceritakan kisah Bu Ribka kepada Didi lewat pesan teks ....

Telusurilah Pangkal ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang