Aku sudah sampai di pertigaan di seberang Gedung Kina. Kulihat lampu merah yang Rizal bilang sering dipegang oleh pengemis itu, tetapi tidak ada siapa-siapa. Langsung panik aku. Kuputuskan untuk mencari di sepanjang trotoar.
Namun, sesuatu menyentuh kakiku dari belakang. Sesuatu itu terasa kasar dan berpasir. Maka, berbaliklah aku. Rupanya, ada seorang pria tua di sampingku. Beliau mengangkat sesuatu. Ternyata jam tanganku jatuh.
"Ma ... makasih, Kek ...." Aku berlutut pelan, mengambil jam tanganku dari tangannya yang terus bergetar. Kondisi tangan itu ... apa berlebihan kalau kubilang hanya berbalut tulang dan kulit? Tatapan beliau yang kosong pun makin menambah kekhawatiranku.
"Kek ...." Kukeluarkan sebotol air mineral dari tas. "Kakek mau minum?"
Sang pengemis tetap tidak berbicara. Beliau hanya melirik botol air sejenak dan mengangguk pelan. Lantas, kuberantas rasa gugup dan memberi beliau minum air. Usai minum kira-kira setengah botol, beliau tersenyum kecil. Rasanya lega sekali.
"Kek, Kakek tinggal di mana? Kakek punya rumah, enggak, atau keluarga?"
Beliau tidak langsung merespons. Ia kembali menatap kosong, sebelum berbalik dan mengambil sesuatu yang dibungkus kain. Ada dua barang: sebuah medali emas dan sebingkai foto. Foto itu berisi seorang pria, wanita, dan anak lelaki di tengah mereka.
Wajah beliau sangat mirip dengan wajah pria pada foto itu. Pula, medali itu adalah medali emas asli PON X pada tahun 1981. Aku ingin bertanya lagi tentang ini, tetapi, tatapan kosong beliau ... tatapan kosong itu ... lebih dari cukup untuk mengurung niatku.
"Kek ...." Kutelan ludah. "Di mana Kakek tidur biasanya?"
Beliau menoleh ke samping kiri, menunjuk sesuatu di antara deretan ruko yang dijadikan berbagai macam toko.
"Maksud Kakek toko camilan?"
Beliau menggeleng.
"Atau toko baju, Kek?"
Beliau menggeleng lagi. Maka, kuperhatikan lagi ke mana tangan beliau menunjuk. Tangan itu rupanya mengarah pada toko perabotan yang diapit oleh toko camilan dan toko baju, Toko Kenari namanya.
"Kakek tidur di toko perabotan setiap malam? Apa pemiliknya enggak marah, Kek?"
Beliau berhenti menunjuk, kemudian berputar balik ke gerobaknya di belakang untuk mengambil sesuatu. Sebuah bantal diletakkan beliau di depanku. Bantal yang masih putih, bersih, dan empuk. Ini bukan bantal bekas sama sekali.
"Kek ... Kakek beli bantal ini?"
Beliau tidak menjawab. Sesuatu yang panjang dari gerobak ditarik beliau. Terlihatlah ujung sebuah selimut, yang belum pudar warnanya dan masih wangi pula. Ini juga selimut baru.
"Kek, pemilik Toko Kenari sendiri yang kasih ini ke Kakek?"
Mengangguklah beliau. Maka, terheran-heranlah aku, bolak-balik melirik ke arah toko itu.
"Kok, bisa, Kek? Gimana ceritanya pemilik toko itu loyar banget kasih Kakek bantal dan selimut?"
Sang pengemis tidak merespons lagi. Tercipta jeda sesaat di antara kami. Namun, tiba-tiba beliau mulai menangis. Lantas, kukeluarkan kain titipan Rizal untuk menyeka tangisan beliau. Namun, beliau malah mengambilnya dari tanganku untuk melakukan itu sendiri.
"Kek, kenapa? Kenapa Kakek tiba-tiba nangis?
Beliau tidak menjawab, masih tersedu-sedu.
"Kek, Kakek mau kuantar ngomong ke pemilik Toko Kenari untuk bantu Kakek? Atau apa?"
Tangisan beliau malah makin kencang. Kebingungan, aku hanya bisa memeluk beliau. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tetapi takutnya beliau diperhatikan para pelalu lalang kalau begini terus.
"Kek, tenang dulu, Kek. Jelasin pelan-pelan aja apa yang mau Kakek sampaikan ke pemilik Toko Kenari itu. Sebisa mungkin kuusahakan ngomong ke dia, Kek."
Dengan begitu, beliau melepaskan pelukanku. Kemudian, dengan bahasa tubuh beliau yang terbatas dan bertubi-tubinya pertanyaan dariku, kudapatkan fakta bahwa beliau dulu sempat bertengger di depan Toko Kenari dan sering memandangi bantal-bantal di sana. Ketika suatu malam hujan turun lebat, beliau basah kuyup, tetapi ajaibnya diizinkan sang pemilik toko tidur di atas ranjang yang dipajang. Maka dari itu, beliau merasa sangat berutang budi kepada pemilik toko itu, sampai-sampai tidak berani lagi muncul di Toko Kenari.
"Oh, begitu? Baik banget, ya, pemilik toko itu. Pokoknya, Kakek enggak usah takut, ya. Aku yakin, Kek, pasti dia orang baik, sama kayak Kakek yang udah kasih kain Kakek buat lap orang lain ketika cuaca panas."
Syukurlah, tangisan beliau pun reda. Namun, beliau tidak menunjukkan apa kejadian dengan Rizal itu diingatnya.
Maka, aku berpamitan dengan beliau. Beliau membentuk sebuah tanda salam kepadaku dengan tangannya, dan aku membalas pula gestur tersebut terhadap beliau.
Kemudian, pada akhirnya, aku berjalan ke seberang, ke toko perabotan tersebut. Semoga betul di sana ada orang dermawan yang sudah memberikan bantal dan selimut gratis kepada kakek pengemis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telusurilah Pangkal Itu
Fiction généraleHidup ini penuh dengan kebetulan. Atau, haruskah kukatakan bahwa kebetulan-kebetulan ini adalah rencana brilian para pemain catur semesta? Meskipun kebetulan-kebetulan ini banyak yang menghancurkan dunia, kali ini aku ingin engkau melihat kebetulan...