20

1 1 0
                                    

Jadi, bagaimana kami melakukannya? Menghibur Bu Cory, Kevin, dan Didi tanpa terkesan sok kenal dan sok dekat?

Bu Ribka bilang kepadaku bahwa kami tidak boleh mendatangi mereka secara tiba-tiba. Mula-mula kami harus melakukan pendekatan secara personal kepada setiap dari mereka, satu per satu. Maka, Lili berupaya berteman dengan Didi ketika di sekolah, Bu Ribka berkenalan dengan Bu Cory, sedangkan Mas Deni ... ternyata dulu teman sekelas Kevin ketika SMA, dan sering lewat di depan bengkel tempat Kevin bekerja. Jujur, aku agak terkejut mengetahui ini.

Sementara itu, aku sendiri hanya perlu secara berkala berkomunikasi dengan Didi untuk mengetahui kondisi keluarganya. Namun, sementara ini kuputuskan untuk mengontaknya hanya lewat pesan singkat, karena aku takut kehadiranku secara langsung di rumah Didi akan memicu reaksi buruk.

Satu bulan pun berlalu. Usaha untuk menjadi teman bagi keluarga yang rapuh ini membuahkan hasil. Kini aku sedang duduk di taman, menyaksikan perjuangan Didi bersama Lili menjual cupcake, Bu Cory yang dapat leluasa mencurahkan isi hatinya kepada Bu Ribka, dan Kevin yang sedang berlari gembira di taman bersama Mas Deni, jauh dari persona dinginnya waktu itu.

Semuanya telah membaik. Namun, dari semua ini, apa peranku? Mereka semua yang ingin kubantu tampak bahagia, seperti yang kuharapkan, tetapi ... itu semua terjadi ... karena usaha orang lain, bukan?

Sementara aku, apa yang telah kuperbuat? Aku hanya telah menyuruh tiga orang untuk membantuku, dan tiga orang inilah yang mendapatkan hasil terbesar dari usaha mereka.

Namun, aku? Aku sama sekali tidak berjasa. Aku tidak melakukan apa-apa. Bukan aku yang memulai rantai kebaikan ini, tetapi mereka. Merekalah yang secara aktif berusaha menyebarkan itu. Mereka yang berani untuk menggubris perubahan, menaklukkan keraguan, dan menghadapi rintangan. Sementara aku, pada akhirnya masih menjadi seseorang yang terlalu takut untuk melangkah, yang tetap memilih untuk mundur begitu mendapat kesulitan.

Dengan sedih, kutinggalkan taman diam-diam, dan semua orang yang bahagia sama sekali tidak berkat usahaku. Aku memutuskan untuk pulang, karena pada akhirnya, aku tidak menjadi pahlawan yang kujanjikan kepada diri sendiri.

Namun, tiba-tiba kurasakan sentuhan tangan seseorang dari belakang. "Didi?"

"Terima kasih, Kak."

Aku tertegun. "Untuk ... apa?"

Sebuah cupcake tiba-tiba diletakkannya di tanganku. "Mama sekarang punya teman bicara. Abang Kevin tidak lagi merasa tertinggal karena putus sekolah. Didi ... juga punya sahabat baru. Kalau bukan karena Kakak, kami enggak akan kenal orang-orang ini. Senang berkenalan dengan Kakak."

Aku tidak berbalik menghadap Didi sama sekali. Namun, Didi tidak melihat mulutku ternganga, dan kedua pelupuk mata ini menghangat. Sebuah pengakuan ... ya, sebuah pengakuan. Meskipun, aku tidak membantu Didi dan keluarganya sembuh sama sekali?

"Kak, kita tidak perlu cari malaikat lagi. Seperti yang Kakak bilang, setiap orang adalah malaikat tanpa sayap sesamanya, dan Kakak ... sudah membawa tiga malaikat itu untuk menyembuhkan keluargaku."

Dua lengan sontak memeluk erat pinggangku. Air mata seketika tumpah. Aku tidak tahu apa artinya ini. Aku ... telah membawa sosok malaikat yang mereka perlukan? Jadi, aku ... sendiri telah berhasil menjadi pahlawan? Untuk Didi, Kevin, dan Bu Cory?

"Karen, kamu tidak perlu mencari malaikat itu jauh-jauh. Semuanya bermula darimu. Domino kebaikan itu telah kamu jatuhkan. Kamu telah menjadi pangkal yang selama ini kamu cari-cari, pangkal kebaikan itu."

Aku makin terkesiap, melihat siapa yang tampak di depan mataku. Seorang pria dewasa, berperawakan tinggi, tampan, dan berpakaian serba putih, muncul di hadapanku. Apa ini ... apa ini sebuah mimpi?

Pria itu tersenyum temaram kepadaku. Senyumnya itu sangat lembut, meliputi hatiku dengan kedamaian. Sungguh, siapa dia? Apa dia ... malaikat itu? Yang menanam benih di kebun Bu Ribka? Yang membela Bu Cory di kereta api? Yang melindungi Didi di ayunan pohon?

"Karen, satu hal yang hanya perlu kamu ingat, bahwa kamu ini hanyalah hamba Yang Maha Kuasa. Lakukanlah segala perintah-Nya, dan tetap kasihilah sesamamu, seperti engkau mengasihi-Nya."

Setelah itu, pria itu langsung pergi. Dia seketika menghilang diliputi cahaya yang sangat terang. Dalam sekejap, pria itu lenyap dari hadapanku. Benar, dialah sosok malaikat itu. Akhirnya, aku telah bertemu dengannya. Terima kasih, Tuan Malaikat. Aku sepenuhnya lega dan puas.

Aku bukan orang sempurna. Aku penuh akan kesalahan. Aku ceroboh, tidak percaya diri, pemalas, suka mengkhayal, juga dengan seribu kekurangan lainnya yang terlalu hina untuk kusebutkan.

Namun, dari semua yang telah kulalui ini, aku berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik, yang dapat menjatuhkan efek domino yang membawa berkat bagi semua orang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Telusurilah Pangkal ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang