Aku sudah sampai di dalam Toko Kenari. Berbagai jenis lemari ditampilkan di bagian depan. Ketika kutelusuri lebih dalam, tampak kursi, meja, dan beberapa ranjang, lengkap dengan kerangka dan bantalnya. Tampak seorang pria berkemeja menghampiriku.
"Mau cari apa, Dik? Silakan dipilih dulu."
Tidak ada orang lain. Mungkin ini pemilik Toko Kenari.
"Begini, Pak, saya mau tanya. Di deretan ruko ini biasanya banyak pengemis yang nongkrong, enggak?"
"Oh, enggak, sih. Dulu ya, ada, tapi sekarang udah dilarang sama Satpol PP. Tunggu sebentar."
Pria itu tampak terburu-buru. Sepertinya dia hendak keluar sejenak. Namun, beberapa detik kemudian, dia malah kembali ke dalam, entah mengapa. Sementara itu, terdengar bunyi melintasnya sebuah sepeda bermuatan boks besar dengan pengendaranya yang menyahut, "Es krim! Es krim!"
Sang pemilik toko terus bertingkah kikuk, berpura-pura mengatur kembali perabotan sembari melirik ke penjual es krim secara ketakutan. Ketika sepeda es krim itu pergi, dia segera melihat lagi ke depan, sebelum mengembuskan napas lega, bagaikan bebas dari pemangsa. Ada masalah apa di antara penjual es krim itu dengannya?
Segera dia menyadari lagi keberadaanku. "Oh, maaf, he-he. Tadi itu bukan apa-apa. Abaikan saja, ya."
"Enggak apa-apa, Pak. Tapi, saya dengar, dulu ada kakek tua yang sempat nongkrong di depan Toko Kenari, ya?"
Sang pemilik toko terbelalak. "Gimana kamu bisa tahu?"
Kuputuskan untuk menjelaskan semua. "Begini, Pak. Jadi, kebetulan sekali, saya ketemu seorang kakek yang bilang bahwa Bapak mengizinkannya tidur di salah satu ranjang etalase dan juga kasih kakek itu bantal dan selimut gratis. Apa itu benar?"
Pipi Pria itu memerah. "I ... i-iya. Saya sendiri yang kasih kakek itu bantal dan selimut. Saya cuma kasihan ... kakek itu selalu memandang ke toko saya setiap saat. Tapi, saya selalu malu meladeni dia di depan banyaknya pelanggan. Hingga, pada suatu malam, ketika mau tutup toko, hujan lebat. Saya enggak bisa tahan hati, jadi saya bawa masuk kakek itu ke dalam toko dan persilakan dia tidur di atas ranjang. Jujur saja, saya mau membantunya lebih lanjut, tapi dia tiba-tiba hilang begitu aja keesokan paginya."
Oh, begitu ceritanya.
"Ng, tapi, kalau boleh tahu juga, kenapa tadi Bapak bertingkah aneh ketika ada sepeda es krim lewat di depan? Apa ada sesuatu?"
Dia seketika membeku. Ada jeda sejenak, sebelum dia menghela napas dan berkata, "Ya. Waktu itu, si tukang es krim bantu benerin sepeda saya ketika harus buru-buru jemput anak. Namun, saking buru-burunya saya, saya malah ingat mau bayar tukang es krim itu di tengah jalan ke sekolah anak saya. Ketika saya balik, tukang es krim itu udah pergi. Saya takut, dia bakal marah kalau ketemu saya lagi, padahal waktu itu saya ngomong langsung mau bayar."
Aku mengangguk. Aku tidak tahu banyak tentang tukang es krim itu selain dari fakta bahwa dia memperbaiki sepeda pemilik Toko Kenari, tetapi dari sini kucoba menarik kesimpulan.
"Oh, yang Bapak rasakan sama persis dengan kakek pengemis yang sudah Bapak bantu itu. Mungkin Bapak kurang engeh, tetapi kakek itu merasa sangat malu dan berutang budi terhadap Bapak, sama halnya dengan rasa bersalah Bapak terhadap tukang es krim itu. Kalau Bapak mau ketemu, langsung aja ke depan trotoar sini. Beliau ada sama gerobaknya."
Sang pemilik toko langsung tertegun. Tubuhnya membeku, tatapannya kosong, pertanda bahwa dia akhirnya benar-benar sadar tentang semuanya.
"Dik, beneran kakek itu ada di sana? Saya bener-bener mau minta maaf."
Aku mengangguk.
Lantas, pemilik Toko Kenari langsung berlari cepat ke posisi gerobak sang kakek di trotoar. Kuputuskan untuk mendekat, dan benar, mereka akhirnya bertemu lagi. Sang kakek dihampiri sendiri oleh orang asing yang memberinya bantal, dan sang pemilik toko menemukan orang miskin yang benar-benar ingin dibantunya.
Sang pemilik toko meminta maaf terus-menerus, lega dapat menuntaskan amalnya kepada kakek-kakek itu. Sementara itu, sang kakek sendiri syok, tetapi juga bahagia sekali, karena sang pemilik toko tidak kecewa sama sekali akan kehilangannya, dan ajaibnya juga mau membiayai kehidupan beliau sehari-hari, tanpa pamrih.
Aku tersenyum lega. Semoga sang kakek tetap sehat sampai berjumpa kembali dengan keluarganya.
"Es krim! Es krim!"
Klakson berbunyi. Sebuah sepeda bermuatan boks besar melintas di hadapanku. Pengendaranya bertopi serta berkemaja merah. Dialah yang dihindari sang pemilik Toko Kenari karena malu.
Kebetulan perutku tiba-tiba berbunyi. Maka, ketika sepeda itu berdiri di ujung pertigaan, aku berlari mengejarnya, sekaligus untuk menahan lapar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telusurilah Pangkal Itu
Fiksi UmumHidup ini penuh dengan kebetulan. Atau, haruskah kukatakan bahwa kebetulan-kebetulan ini adalah rencana brilian para pemain catur semesta? Meskipun kebetulan-kebetulan ini banyak yang menghancurkan dunia, kali ini aku ingin engkau melihat kebetulan...