Jam setengah tujuh pagi. Aku kini sedang mematung di zebra cross di depan deretan toko yang termasuk Toko Guntur, dan yang berhadapan dengan Universitas Cemara. Kupantau terus jam tanganku, berharap sisa sepuluh menit sebelum datangnya bus langgananku tidak akan sia-sia.
Aku melihat-lihat untuk ke sekian kalinya, mencari sosok dosen klimis yang sang pencuri temui. Tampaknya pencarianku gagal lagi, hingga tampak seseorang yang berjas putih, bercelana hitam panjang, berambut uban, serta berkacamata berjalan ke mari dari kejauhan, menenteng sebuah tas di lengan.
Usai memindai ciri-ciri tersebut, langsung kumalingkan muka agar tidak ketahuan menatap beliau dengan aneh. Separuh diriku ragu, tetapi sosok tersebut makin mendekat hingga makin jelas keriput pada wajahnya. Pasti itu beliau Semoga tebakanku benar.
"Permisi, Pak. Apa Bapak mau ke Universitas Cemara?"
Beliau menengok, melebarkan senyum ramah.
"Ya, saya mau ke Universitas Cemara. Barangkali kamu salah satu mahasiswa saya di situ, Nak?"
Yes! Tebakanku tepat!
"Oh, bukan, Pak. Saya mau ke halte bus di depan sini, yang arahnya ke Universitas Trenggana."
"Oh, Trenggana? Selamat sudah diterima di situ, Nak. Sedikit yang berhasil lulus ke sana. Apa kamu punya pekerjaan sampingan?"
"Eh, tidak, Pak, itu bukan apa-apa. Saya punya satu pekerjaan sampingan, tapi saya masih cari lagi pekerjaan lain."
"Oh, begitu. Saya punya saran yang mungkin bisa kamu pertimbangkan." Kemudian, sang dosen mendongak. "Sudah lampu hijau. Mari kita lanjutkan di seberang sana, Nak."
Setelah menyeberang, beliau memulai kembali.
"Jadi, maaf sebelumnya, Nak. Meski saya bukan dosenmu, izinkan saya memulai ini dengan satu pertanyaan. Sebagai seorang mahasiswa, kamu tentu setuju bahwa pendidikan itu penting, bukan?"
Aku mengangguk.
"Itulah yang selalu saya tekankan dalam setiap sesi kuliah kepada para mahasiswa, Nak. Saya tidak ingin satu pun dari mereka lulus sebagai orang bergelar tetapi tidak berilmu. Saya pikir, orang yang bodoh dan tidak terpelajar tidak punya kesempatan sama sekali untuk menggapai mimpi. Namun, seseorang menyadarkan saya bahwa pemikiran saya itu keliru."
"Siapa itu, Pak?" tanyaku.
"Minggu lalu, dalam perjalanan pulang ke rumah, saya sempat ngopi di sebuah kafe di dekat sini, Kafe Hore namanya. Kafe itu kecil dan sedikit tempat duduknya, tetapi desain interiornya sangat mengagumkan. Di situ saya pesan secangkir kopi, dan bertemu seorang pelayan muda yang membuat saya kagum."
Aku tersentak mendengar kalimat terakhir. Siapa pelayan ini, yang membuat beliau kagum?
"Kebetulan waktu itu Kafe Hore sepi. Setiap kali pelayan itu tidak dipanggil oleh pelanggan, dia dengan fokus menunduk ke bawah. Di depannya tampak banyak buku bahan ajar kuliah, termasuk buku-buku yang langka. Penasaran, saya datang sendiri ke konter untuk membayar sekaligus bertanya tujuannya belajar. Dan ternyata, jawabannya mengejutkan."
Beliau melanjutkan, "Pelayan itu hanya tamat SMP. Semua buku itu dikumpulkan sendiri selama menjadi pemulung dulu. Dia bermimpi, masih tetap bermimpi, untuk menjadi insinyur. Namun, satu-satunya penghasilannya kini, Kafe Hore sendiri, akan tutup sebentar lagi."
Aku turut iba mendengar itu.
"Lantas, saya hendak membayar lebih untuknya. Sayangnya, dompet saya malah tertinggal. Saya meminta izin hendak ke bank sebentar, tapi, tahukah kamu apa yang pelayan itu bilang, Nak?"
"Pelayan itu berkata, 'Enggak apa-apa, Pak. Saya ikhlas rugi secangkir kopi. Kalaupun kafe ini tutup, itu pasti karena Tuhan ingin saya berusaha lebih demi impian itu.'"
Aku langsung terenyuh. Dosen tersebut pun juga mengambil jeda sejenak, dan tersenyum temaram melihatku.
"Kalau hatimu merasa tergerak, coba saja melamar di kafe itu. Siapa tahu, kamu bisa belajar lebih banyak darinya."
Aku mengangguk. Aku baru saja hendak berpamitan dengan dosen tersebut, hingga kuingat untuk bertanya perihal pencuri kemarin.
Rupanya, beliau memang hampir kecopetan setelah mengambil kembali dompetnya di kampus. Namun, beliau memberikan sebagian uangnya kepada sang pencuri dengan cuma-cuma, dan hanya meminta agar dia tidak mencuri dari anak-anak yang kurang mampu, seperti pelayan itu, yang masih berjuang menggapai mimpinya.
Aku tidak sempat mengucapkan ini, tetapi, terima kasih banyak, Pak Dosen. Bapak telah menyelamatkan hidup saya.
Ketika duduk di dalam bus, aku merenung. Seperti jutaan orang lainnya, mungkin aku hanya kuliah agar tidak dicap bodoh oleh masyarakat. Aku masih sering putus asa dan menunda-nunda dalam berusaha. Namun, kalau pelayan ini masih terus mencoba menjadi insinyur, meski lulus SMA saja tidak, seharusnya aku bisa lebih kuat, lebih luar biasa.
Baiklah. Keputusanku sudah pasti. Aku akan mengunjungi Kafe Hore besok untuk asupan energi pagiku. Aku ingin semangat si pelayan menular kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Telusurilah Pangkal Itu
Ficção GeralHidup ini penuh dengan kebetulan. Atau, haruskah kukatakan bahwa kebetulan-kebetulan ini adalah rencana brilian para pemain catur semesta? Meskipun kebetulan-kebetulan ini banyak yang menghancurkan dunia, kali ini aku ingin engkau melihat kebetulan...