11

2 2 0
                                    

Suara sirene masih terus berulang. Entah berapa pasang kaki membentuk gemuruh dalam menyelamatkan tubuh seorang paruh baya yang tiba-tiba runtuh.

Ini tidak dapat dipercaya. Semua ini terjadi bagaikan sinonim dari nama sang korban sendiri. Ya, ini semua terjadi secepat kilat. Entah mengapa aku harus menyaksikan sendiri pingsannya Pak Guntur, memanggil para stafnya dan ambulans, serta akhirnya ... akhirnya membocorkan berita buruk ini kepada Mas Deni.

Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Mengapa aku ditempatkan sebagai saksi perdana musibah ini? Kesedihan di hadapanku kini sungguh terlalu nyata. Mas Deni rebah di depan pintu, tersedu-sedu. Para karyawan pun ikut lesu. Kalau saja aku dapat menenangkan dan menghibur mereka ... tapi itu tidak mungkin.

Aku hanya sekadar orang yang kebetulan lewat dan melihat seorang lansia jatuh di depanku. Aku bukan sahabatnya Mas Deni, apalagi pacar. Maka, yang hanya dapat kulakukan adalah memberikan secarik kertas kecil berisi surat penting Pak Guntur kepadanya. Semoga dia membaca itu dan ayahnya kembali pulih pula.

Namun, meski begitu, kejadian pingsannya beliau masih terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Ini mungkin melenceng terlalu jauh, tetapi bagaimana bila musibah itu terjadi dalam konteks lain, seperti pencurian? Apa aku akan cukup berani untuk bertindak? Atau, lebih buruknya, apa aku akan sudi bertindak, meski orang yang memerlukan pertolongan sekasar dan seketus Pak Guntur?

Aku terdiam. Belum tentu aku akan cukup berani untuk melakukan ini. Akan tetapi, andaikan perannya dibalik, pasti aku akan memohon setengah mati agar orang itu membantuku. Jadi, bila sisi negatifku yang keluar ketika orang itu menemuiku, kemungkinan besar aku tidak akan tertolong.

Dari sinilah, kutemukan satu kesimpulan: sikap seseorang terhadap sesamanya, serta tindakan sesama itu terhadapnya dapat mengubah arah jatuhnya domino secara drastis, membuat jalinan perisitwa berbeda bergulir, dengan akibat masif yang tidak pernah dapat diduga.

Mungkin, ini kembali lagi pada kebetulan, yang mungkin disengaja oleh semesta. Andaikan tidak dihampiri oleh Rizal, aku tidak akan tahu tentang keberadaan kakek-kakek pengemis di pertigaan di seberang Gedung Kina itu. Andai aku tidak datang mencari pengemis itu, Pak Ardi dan beliau tidak akan bertemu satu sama lain lagi setelah kesalahpahaman akibat utang budi. Andaikan tidak bertemu Mas Deni, mungkin dia tidak akan tahu perihal musibah yang terjadi pada papanya.

Ah, tidak. Kutarik kalimat terakhir itu. Tadi memang aku yang menelepon Mas Deni, tetapi itu hanya lewat ponsel karyawan yang sedang buru-buru mengangkat Pak Guntur ke ambulans. Kalaupun Mas Deni tidak pernah mengenalku, apa peristiwa tadi akan menjadi jauh berbeda? Tidak juga. Peranku ternyata tidak sebesar yang kukira.

Namun, satu hal lain yang kusadari, aku telah kembali menemui lima orang berturut-turut yang berkaitan satu sama lain. Apa ini akan menjadi sebuah pola? Apa ini mempunyai sebuah arti tersirat untukku? Atau, apa aku hanya mengkhayal terlalu jauh, seperti entah berapa pencetus teori konspirasi di internet yang tidak diacuhkan dan tidak terbukti teorinya oleh alam semesta?

Mungkin apa yang kusaksikan belakangan ini pada akhirnya tidak akan berarti apa-apa. Namun, rantai pertama yang kutelusuri ternyata dimulai oleh seorang malaikat—setidaknya itu yang sangat kuyakini. Pula, rantai kedua—sejauh yang kuketahui—bermula karena seorang ayah akhirnya mengizinkan anaknya melakukan bisnisnya sendiri. Tidak mungkin tidak ada arti penting di balik itu.

Jadi ... baiklah. Kalau misalnya kutemui rantai-rantai tersembunyi di sekitarku, aku akan mencarinya dan menuntaskannya. Bisa jadi ini memang panggilan semesta agar aku menggerakkan orang-orang di sekitarku agar lebih baik. Semoga aku tidak akan salah dalam bertindak serta tidak memindahkan domino dari arah jatuh yang seharusnya.

Telusurilah Pangkal ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang