"Dik, hidup itu jalannya enggak mulus. Entah kapan kita bahagia sekali, seperti berada di langit-langit. Tapi, sekali jatuh ke dalam titik tergelap, rasanya benar-benar terpuruk, sampai mau menyerah aja ... sama semuanya."
Bu Ribka kembali terlihat sendu. Beliau memandang ke perkebunan apel yang tampak ramai meski kecil di depannya, dengan pandangan yang dapat dibilang mengingat nostalgia.
"Kamu pasti baru tahu nama toko Apel Berkat, kan? Memang, pada kenyataannya, bisnis ini belum lama berdiri. Tepatnya, baru setahun ladang di depan kita ini dibudidayakan jadi kebun apel sumber penghasilan saya kini. Sebelumnya? Ladang ini kosong sama sekali, tandus, seperti jiwa saya yang gugur ... karena mendiang janin saya sudah kembali ke surga, sebelum saya bisa memeluknya."
Aku tertegun, tidak bisa berkata-kata. Tidak kusangka, hal pribadi seperti ini diceritakan oleh beliau sendiri kepadaku. Sampai-sampai aku bergumam, "Bu ... Bu Ribka ...."
"Keguguran?" Bu Ribka menarik napas panjang, menghelanya pelan-pelan.
"Ya, kalau mau bilang enggak menyerah, rasanya munafik sekali. Kecewa, marah, semuanya bercampur aduk. Saya putus asa, gampang marah sama siapapun, dan menutup diri, bahkan dari suami saya sendiri. Saya cuma menangis setiap hari, setiap jam, setiap saat, enggak tahu mau ngapain, enggak ngerti kenapa saya masih hidup. Sampai, suatu hari ...."
Bu Ribka meneguk teh sejenak, kemudian melanjutkan ucapannya.
"Seorang pria muda, entah dari mana asalnya, tiba-tiba datang ke rumah, bilang ke suami bahwa dia cari saya, dan hanya saya sendiri. Saya waktu itu selalu ngusir siapapun yang berkunjung, Dik, tapi anehnya, saya enggak terdorong untuk usir orang itu. Suaranya itu, lho ... lembut banget. Mukanya pun ganteng, tapi enggak sangar sama sekali. Tanpa ngomong apapun sebelumnya, dia langsung tanya begini, 'Apa Ibu kehilangan harapan?'"
Waktu seolah-olah berhenti. Apa kamu kehilangan harapan? Kata-kata itu bergema di otakku. Rasanya seperti diucapkan oleh pria itu sendiri, bukan dari mulut Bu Ribka.
"Pria itu ajak saya ke halaman di depan kita ini, yang dulunya kering, enggak berisi sama sekali. Dia suruh saya ikut berlutut sama dia di atas tanah. Terus, dia tanak sepucuk tanaman di atas tanah. Saya disuruh bawa air, dan saya bawakan, Dik, meski abis itu, saya yang enggak sabaran tanya dengan ngegas, 'Ngapain kita begini, Pak?'"
Aku masih menyimak dengan saksama.
"Dia enggak marah sama sekali. Nada bicaranya masih lembut kayak tadi. Dia jawab, 'Ibu, seandainya ada satu tanaman kecil di padang gurun yang enggak dirawat siapapun dan hampir layu, apa Ibu bakal merawatnya, bagaikan anak Ibu sendiri?'"
Bu Ribka meneguk teh lagi. "Saya enggak bisa berkutik. Saya hanya bisa tersungkur dan nangis. Namun, dia bilang satu hal, satu hal yang membuat saya sadar apa arti sebenarnya dari penderitaan itu."
Mata Bu Ribka berkaca-kaca.
"Dia bilang, 'Anak Ibu sudah diselamatkan Tuhan sebelum dia keluar dari rahim Ibu, karena Tuhan sangat menyayanginya, dan tahu bahwa dia enggak akan kuat menghadapi semua pencobaan di dunia ini. Ibu, tersenyumlah sekarang. Anak Ibu sudah bahagia selamanya bersama para malaikat di surga.'"
Bu Ribka tidak sanggup menahan kalbu pada titik itu. Air mataku pun meleleh seketika. Kumalingkan muka agar tidak tampak menangis. Pada saat itu pula, Lili yang tengah bermain melihat kami berdua menangis, kemudian segera menghampiri tantenya.
"Tante, kok, Tante nangis?"
Bu Ribka memaksakan senyum di depan keponakannya. "Enggak, Lili sayang. Tante cuma sedih ingat anak-anak jalanan yang Tante kasih makan apel."
"Ayo, Tante! Besok ulang tahun Lili! Lili bakal kasih lebih banyak snack buat temen-temen di jalanan dan Mas Boba!"
Bu Ribka mengusap kepala Lili lembut. "Ya. Kita pergi besok pagi, ya."
Sejenak setelah tangisan reda, Lili mengajakku pulang bersama-sama. Sembari menunggu Lili, kutemui sebuah pohon yang batangnya sangat tebal dan jauh lebih besar daripada pohon-pohon lainnya. Tidak lama kemudian, Bu Ribka datang dan berdiri di sebelahku.
"Dik, inilah pucuk pohon apel yang ditanam pria itu. Pucuk inilah yang dulunya layu, tetapi saya rawat dan kembangkan hingga sekuat ini. Seandainya anak saya lahir, pasti dia akan sering main-main di sini."
Bu Ribka tersenyum temaram, kemudian menaruh kedua tangannya di atas dan di bawah telapak tanganku.
"Dik, kamu enggak akan mengerti sepenuhnya, sampai kamu alami semua itu sendiri. Harapan itu ada, Dik, nyata. Ketika kamu mengalami sendiri jamahan ilahi itu, kamu pasti akan merasakan apa yang saya rasakan. Saya percaya, siapapun pria itu, dia diutus Tuhan untuk memulihkan saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Telusurilah Pangkal Itu
Ficção GeralHidup ini penuh dengan kebetulan. Atau, haruskah kukatakan bahwa kebetulan-kebetulan ini adalah rencana brilian para pemain catur semesta? Meskipun kebetulan-kebetulan ini banyak yang menghancurkan dunia, kali ini aku ingin engkau melihat kebetulan...