Sketsa Pertama

17 1 0
                                    

"Kamu adalah cucuku yang paling istimewa!"

Neneknya selalu memuji Alexa yang pandai menyampaikan dongeng sehingga menjadi lebih hidup dan memiliki 'nyawa'. 

Rentetan kisah tentang keluarga dan leluhur pun mengalir dari bibir keriput neneknya, yang disahkan dengan rangkaian bukti sejarah pohon keluarga yang tertulis di perkamen kuno, warisan turun temurun.

'Aku adalah pendongeng. Entah kutukan atau anugerah, tapi kilasan demi kilasan ajaib itu akan terus menghantuiku selama belum kutuntaskan dan tertuang dalam tulisan!'

Alexa menghela napas lega dan menuntaskan kemasan novel thrillernya yang baru saja selesai. Dialah Alexandra Hanaco, seorang novelis muda yang sukses dan telah mengeluarkan puluhan novel laris.

Di usianya yang masih muda, yaitu dua puluh lima tahun, Alexa sudah malang melintang di dunia literasi.

Tidak ada yang mengetahui jika Alexa memiliki bakat unik. Hanya keluarganya saja yang tahu, bahwa putri sulung mereka memperoleh bakat dari leluhur yang dulu menjadi pujangga nusantara, Empu Prapanca.

Sejak kecil Alexa tahu akan kisah beberapa orang, tanpa mengenal orang tersebut sebelumnya. Bakat itu terus diasah, hingga Alexa menekuni dengan lebih serius. Puluhan kasus pembunuhan terungkap atas kiprahnya selama ini. Tidak sedikit juga kisah percintaan tertunda yang berlanjut karena andil Alexa.

Meski tidak selalu mudah, karena ada beberapa pihak yang mengutuk dan menertawakan dirinya, tapi Alexa tidak mengenal kata berhenti. Menulis adalah bagian dari kebutuhan jiwa dan panggilannya. Dia menjalani semua dengan penuh semangat.

Setiap kisah adalah petualangan yang membawa dirinya pada kehidupan lain, walau sesaat. Alexa bisa merasakan sisi lain yang jauh lebih menegangkan serta menarik. Hidupnya terasa lebih berwarna dan tidak membosankan.

"Lexa!" teriakan ibunya dari lantai bawah membuyarkan kesibukan Alexa yang sedang mengetik isi surat elektronik untuk editornya.

"Ya, Ma! Bentar lagi selesai!" balas Alexa dengan suara keras.

Tidak lama pintu kamarnya terkuak lebih lebar.

"Bang Terry nyariin tuh! Udah nunggu dari tadi!" Adik bungsunya, Boston, muncul di pintu dengan cengiran khasnya.

"Bilangin lima menit lagi!" sahut Alexa tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Kalo minta aku jadi pengirim pesan, upahnya uang pulsa!" todong Boston.

Alexa menekan ikon kirim dan tersenyum. Ia kemudian berpaling pada adik bungsunya yang bertampang bule, mengikuti wajah sang ibu.

"Iya, Bawel! Nggak usah kamu minta juga dibagi!"

Boston terkekeh dan segera melesat pergi. Alexa menggelengkan kepala dan segera bersiap mengenakan sepatu kets serta menyambar tas selempang etniknya.

Kaki Alexa dengan cepat menuruni tangga dan dalam semenit berikutnya dia sudah berada di ruang tengah. Terry mulai bermuka masam. Sudah setengah jam ia menunggu dan mereka hampir terlambat menghadiri pesta yang sangat penting bagi karir Terry yang memiliki profesi sebagai kepala agensi model.

"Kapan kamu nggak ngaret, sih?" gerutunya.

Alexa meringis dan memberikan senyum termanisnya. Keduanya sudah berpacaran dari kuliah dan kedua orang tua mereka juga saling mengenal satu sama lain sejak masa muda dulu. Ayah Terry adalah sahabat dari papanya.

"Maaf, janji ini terakhir kali!" cetusnya dengan sungguh-sungguh.

"Udah jangan berantem! Nanti malah makin terlambat!" seru ibunya mulai melihat gelagat Terry yang kehilangan kesabaran.

Winter to RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang