Sketsa Kedua

6 0 0
                                    

Peluh yang membanjiri tubuh Alexa terasa lengket dan membuatnya kian gerah. Wanita yang berparas cantik dengan kulit putih dan rambut ikal sebahu itu mengikat rambutnya sembarangan ke atas.

Jika tidak karena janji akan mengeluarkan novel baru tahun ini, Alexa malas bersusah payah memenuhi undangan editor setianya, Andin.

"Oke, berarti semua udah jelas kerangka dan premisnya, ya? Gue tinggal nunggu judul dari loe dan semoga tiga bulan kelar." Andin menggaris bawahi catatannya di jurnal pribadi.

"Laen kali kalo mau ngajak janjian jangan di tempat ini kek, Ndin. Kayak nggak ada tempat yang laen aja!" gerutu Alexa dengan wajah memerah, menahan udara yang menyengat.

"Bakso di tempat ini paling yahud! Worth it bangetlah!" tukas Andin yang juga teman SMA Alexa tersebut.

"Indonesia emang bukan negara yang cocok buat gue. Kayaknya gue lahir di tempat yang salah!" Alexa masih mengomel dan mengusap keningnya dengan tisu. Andin terkekeh.

Sahabatnya yang satu ini dari dulu menginginkan hidup di negeri bersalju dan membenci matahari. Alexa bahkan pernah meninggalkan kelas dan pulang, hanya karena kipas angin di sekolahnya mati.

"Ya udah, balik gih! Sebelum semua badan loe meleleh!" cetus Andin.

Alexa tidak menunggu dua kali untuk pergi. Dengan buru-buru dia meraih tas dan berpamitan. Namun baru beberapa langkah, lintasan tentang pemuda itu kembali hadir!

Kali ini Alexa seperti ditarik oleh sesuatu, menuju ke tempat ribuan kilometer jauhnya, Tower Bridge London!

Pria bermata hijau tua itu berdiri tepat di tepi jembatan, di atas sungai yang sama waktu Alexa melihat pertama kali. Kepala lelaki itu kemudian menengadah ke atas, seiring matanya terpejam.

"I'm lost ...."

Alexa dengan jelas mendengar bisikan halus, penuh keputusasaan, yang terlontar dari bibir pria itu.

Rambutnya yang berwarna hitam kecokelatan berkibar diterpa angin, dan pria tersebut menatap ke bawah dengan raut wajah ragu.

"Jangan loncat!!" teriak Alexa dengan panik.

Detik berikutnya, Alexa merasakan pipinya ditepuk berulang kali. Dengan tergagap gadis itu membuka mata dan menyadari sedang terbaring di bangku panjang kantin bakso, sementara Andin menatapnya dengan cemas.

"Gu-gue di mana?" tanya Alexa gugup.

"Sorry, Lex. Kayaknya gegara kepanasan loe pingsan. Kita anterin pulang, ya?" sesal Andin yang tidak menyangka jika ketidaksukaan Alexa terhadap cuaca panas akan berakibat seperti ini.

Alexa akhirnya bangun dan duduk, sembari membetulkan blus yang tersingkap. "Nggak usah. Gue pulang sendiri aja."

Penolakan itu dibantah oleh Andin yang mati-matian ingin mengantarnya.

"Ndin! Gue nggak apa-apa. Oke?"

Sahabatnya menatap Alexa dengan heran. Tidak seperti biasanya gadis itu terlihat serius dan gugup. "Sampe ketemu hari Minggu," pamit Alexa bergegas pergi, meninggalkan Andin dan tukang bakso yang tertegun.

[-]

Satu-satunya orang yang bisa ia ajak berbagi adalah neneknya. Alexa dengan tidak sabar menceritakan semua penglihatannya dan berharap bisa mendapatkan jawaban dari semua lintasan peristiwa tersebut.

"Tower Bridge London?" tanya Juli, neneknya. Wanita yang berusia mendekati tujuh puluh tahun tersebut masih memiliki pemikiran dan ingatan tajam.

Juli bahkan masih aktif berenang dan melakukan aktivitas layaknya wanita berusia lima puluh tahun. Sepertinya awet muda dan berumur panjang sudah menjadi anugerah bagi keluarga Hanaco.

Winter to RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang